DUA PULUH TIGA: Belum Berakhir

525 60 1
                                    

Juno Point Of View


"Akhirnya ya kak" ujar Suria sambil tersenyum kepadaku.

Aku menggangguk pelan. "Setidaknya ini yang paling baik untuk Widya"

"Aku kagum padamu kak, meski dia anak wanita yang pernah kau sukai" kata Suria. "Tapi kau benar-benar seperti menjaga anakmu sendiri"

Kali ini aku benar-benar tercekat dengan ucapan Suria. Aku baru sadar, cerita ini hanya aku dan Mira yang memendamnya. Semua fakta tentang hubunganku dan Widya masih menjadi rahasia.

"kau kenapa kak?" tanya Suria yang menyadariku sedang membeku seperti patung.

"Eh...enggak" ujarku berusaha menutupi keadaan. "Eh iya, Widya kemana ya?" tanyaku tiba-tiba.

"Eh..tadi di belakang kita kan?"

Koridor di belakang kami benar-benar lengang. Tak ada seorangpun yang berlalu lalang, termasuk Widya.

"Loh, kemana dia?" tanyaku. Mataku masih sibuk mencari ke sekeliling. "Apa dia kabur?"

"tidak mungkin kak" ujar Suria. "kau juga lihat ekspresi dia tadi kan? Dia tidak keberatan direhabilitasi"

"Tapi bisa saja seperti itu"

"Ayo kita cari dulu" ujarnya.

"Ke ruang keamanaan saja dek" balasku.

***

"Tidak ada???" tanyaku terbawa emosi.

"Betul pak, CCTV sedang dalam kondisi maintenance mingguan" kata seorang wanita, pegawai keamanan.

"Kenapa bisa begitu?"

"Sudah prosedurnya seperti itu" jelasnya lagi.

"Tidak ada backup sama sekali?"

"Untuk dua jam sebelum maintenance mungkin ada, tapi selama maintenance jelas tidak ada" jawabnya cepat. Seolah benar-benar terlatih menggunakan kalimat itu.

"Eh, tunggu dulu" ujar Suria tiba-tiba memotong. "Kau adiknya Willy kan?" tanya Suria sambil mengacungkan telunjuknya pada petugas wanita itu. Wanita itu menunduk kepalanya berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Adik Willy?" tanyaku.

"Ya, dia Adik Willy" balas Suria cepat tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita itu.

Wanita itu tetap tak menjawab. Malah berusaha terus-terusan menutupi wajahnya.

"Kau adik Willy?" tanyaku padanya.

"E..e...lama tak jumpak kak suria" akhirnya ia membalas.

"Tuh kan betul" ujar suria.

"Tapi apa masalahnya jika memang aku adiknya willy?" tanyanya tiba-tiba. Suria tertegun, sementara aku terus menatap suria bingung.

"Ya, itu... itu.." ucap suria seolah kehilangan kata-kata.

"Baiklah kalau begitu, aku permisi dulu" ujarnya bergegas pergi.

"Kenapa memang kalau dia adiknya Willy?" tanyaku setengah berbisik.

"Bisa jadi dia sengaja menghapus rekaman ini"

"maksudmu?"

"Ya, bisa jadi Willy menculiknya"

"maksudmu apa sih de?"

"Entahlah, aku juga bingung" ucapnya lagi.

Sejujurnya, aku jauh lebih bingung dengan Suria. Kenapa Suria bisa menyebut nama Willy tiba-tiba. Apa itu sebabnya ya?

Perkataan suria tentang Willy mengingatkanku lagi tentang percakapan willy waktu itu yang mengatakan bahwa sebenarnya aku tahu siapa pembunuh Widya sebenarnya.

Apa itu ya?

***

"Setidaknya kita harus menunggu sampai besok pagi untuk bisa melaporkan kehilangan pada polisi" ujarku sambil menyandarkan punggungku di sofa. Rasanya kakiku benar-benar mau lepas setelah berkeliling rumah sakit untuk mencari Widya.

"Istirahatlah dulu" ujar suria yang melihatku memijat-mijat kedua kakiku.

"Kau juga" ucapku.

Suria duduk di atas sofa di depanku. "Kak, ada yang harus kau tahu?"

"Apa?"

"Masalah kemeja itu"

"Sudahlah, aku tak mau kau ikut campur lagi terlalu banyak" jelasku kesal.

"Sudah ku duga kau salah paham" ujar suria. "Dengar dulu"

"Baiklah"

"sejujurnya, malam ketika ayah ibu widya menikah, aku mendapat telpon"

"Dari siapa?"

"entahlah, tak ada suara. Tapi itu nomor telpon rumah Mira"

"Lalu?"

"Alasan mengapa bajuku berdarah adalah karena aku berusaha menahan darah di kepala Mira"

"Apa kau melihat sesuatu disana?" tanyaku. "Yang mencurigakan"

"Hanya ada bondan di sana"

"Bondan?"

"Iya, dan dia juga mendapat telpon yang sama sepertiku"

"Lalu bukan kau pembunuhnya?"

"Jelas bukan"

"Lalu kenapa kau bilang willy pembunuhnya?"

"siapa lagi yang tahu nomorku dan bondan coba?"

"Tapi jika memang begitu, apa alasanya?"

"Itu yang masih aku pikirkan"

"Kenapa semuanya begitu rumit?" ucapku kesal. Suria menatapku dalam.

"Dek, ada yang harus kamu tahu juga" ucapku. Suria hanya diam menatapku.

"Alasan kenapa aku begitu peduli dengan Widya adalah karena dia memang anak kandungku"

"Maksudmu?"

"sebelum masa trainingku sebagai pengacara, Mira sudah mengandung Widya"

"Kak, kenapa kau baru cerita sekarang?"

"Ya, aku memang bodoh" ujarku. "Aku terlalu mementingkan karirku"

"Andai kau bilang dari dulu, mungin aku bisa bersama dengannya" ujar suria. Ya, kau bisa bersama dengan suami Mira, dan aku bersama Mira.

Suara ponsel Suria memecah keheningan. Sebuah pesan singkat baru saja masuk.

"Siapa?" Tanyaku.

"Willy"

"Panjang umurnya" ucapku sedikit tersenyum, berusaha meredakan suasanya tegang akibat semua dugaan yang kami buat.

"Kak..." ucap Suria. "Apa kataku...memang dia"

"Maksudmu?"

Suria hanya terdiam seolah hampir tersambar petir. Buru-buru aku beringsut mengambil ponsel di genggamannya.

"Bagaimana mungkin?" ucapku jauh melebihi kekagetan suria.

Mataku seolah tak percaya dengan apa yang berada di dalam layar ponsel itu.

Wajah widya tampak penuh lebam, dengan bekas darah mengering di dahinya.


Widya bersamaku,

Mari bertukar anak ini dengan mantan istriku


"Kenapa ia ingin menukar Widya dengan kamu, dek?" tanyaku bingung.

"Aku juga tak tahu kak" ucap Suria. Tubuhnya bergetar seolah tak kuat membayangkan apa yang terjadi dengan dirinya nanti.

Sekali lagi, aku harus memilih merelakan anak kandungku atau adikku.

Kenapa aku selalu dihadapkan dengan pilihan sulit seperti ini?

***


SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang