SEMBILAN BELAS : Sebuah Pilihan Berat

586 68 7
                                    

Juno Point of View

Malam ini aku bahkan tak menguap sama sekali. Padahal udara cukup dingin akibat hujan sejak tadi. Tapi jangankan memakai jaket tebal, kopi hangat yang sudah ku buat saja masih tak beranjak habis isinya. Pikiranku terlalu kacau untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Semakin larut masalah ini, justru terasa semakin sulit untuk aku mengerti.

"Siapa...?" lontarku cukup keras. Berharap terjawab masalahku ini.

Entahlah siapa yang harus aku selamatkan, adikku sendiri atau anakku. "Mira, ini pilihan sulit" ucapku sambil menatap kosong ke depan.

Entah sudah berapa kali kuhirup napas sedalam-dalamnya agar bisa merasakan ketenangan lagi. Tapi tetap saja sia-sia. Aku seperti dipinta memilih memotong tanganku atau kakiku. Sulit, sebab semuanya aku butuhkan. Hilang satu diantaranya sungguhlah sulit buatku.

Suria, adikku satu-satunya. Sejak kecil, aku tahu betul masalah-masalah yang dihadapinya. Ia juga bukan anak yang kuat, tapi tetap saja berusaha terlihat tegar di depan orang-orang. Apalagi setelah ia berpisah dengan willy.

Tapi widya. Aku bahkan belum pernah memberinya kasih sayang dengan benar. Aku ayah biologisnya, aku ayah sahnya, tapi bahkan secuilpun tak bisa dibandingkan dengan Wibowo. Ini bisa saja jadi kesempatanku menebus semua hutang tanggung jawab ini.

Aku beranjak dari ruang kerjaku ke kamar. mungkin dengan membaringkan tubuh, pikiranku dapat kembali jernih. Lampu yang biasanya tak pernah kumatikan -bukan karena aku tak bisa tidur dalam gelap, tapi karena letih dan ketiduran di kursi kerja- kini bahkan aku matikan. Dibandingkan kasus lain yang pernah aku emban, ini kasus tersulit buatku. Ini kasus A+ sepanjang sejarah karirku sebagai pengacara.

Dalam diam tatapanku pada langit-langit yang samar, aku mengambil satu pilihan.

"Semua berat" ucapku. "Tak ada yang menguntungkanku"

Aku kembali diam sejenak.

"Mira, yang adikku punya hanya aku seorang..."

***

Kau di rumah?

Tulisku dalam pesan singkat. Sudah sejak pukul 6 pagi aku mengirimkan sms itu. Tapi setelah 20 menit, masih juga tak ada balasan dari suria.

"pokoknya, hari ini aku harus membereskan semuanya" ucapku sambil menyeruput espresso di kafe kecil, sekitar dua blok dari rumahku.

Aku butuh dosis kafein tinggi pagi ini. Bengkak di mataku saja masih bisa kurasakan dengan baik. Meskipun sudah kuputuskan apa yang harus kulakukan, tapi tetap saja. Ini adalah pilihan yang beresiko. Sebelum aku bisa membersihkan semuanya dengan baik, aku akan semakin sering menemui minuman ini.

Handphone yang kutaruh di atas meja itu bergerak karena getarannya sendiri. "Akhirnya" ujarku lega.

Ada apa kak? Biasanya kau langsung datang saja

Aku sedikit kaget dengan balasannya. Ini benar-benar menyadarkan kebodohanku. "Iya ya" ujarku sambil menepuk kepalaku sendiri. Sepertinya aku benar-benar sudah kehilangan akal sehat.

Aku ke sana

***

"Kenapa kemari?" tanya Suria tepat setelah ia membukakan pintu rumah. Aku bahkan masih berdiri di depan rumahnya.

"Aku mau main saja" ucapku asal sambil mendorong tubuhnya untuk menyingkir dari pintu agar aku dapat segera masuk.

"Masih tentang kasus Widya?"

Aku hanya mengangguk kecil. Pada sofa di ruang tengah itu, kuhempaskan tubuhku.

"Kenapa lagi?" tanyanya. "Apa ada petunjuk baru lagi?"

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang