DELAPAN BELAS : Malam itu, Malam Kematian (Suria Point of View)

579 68 0
                                    

Setelah mobil keluarga widya pergi, rumah ini menjadi sepi lagi. Pintu belakang rumahku masih kubuka lebar-lebar. Angin pantai masuk dengan bebasnya. Gorden biru itu seolah penari latar sebuah pentas alam. Musiknya adalah suara gulungan ombak yang pecah di bibir pantai.

Novel karangan Nicholas Sparks itu baru separuh kubaca. Jari telunjukku masih betah diapit halaman-halaman buku tebal yang kini hanya berada di atas pangkuanku. Mataku sudah cukup berair dari tadi. Tubuh sudah tak kuat lagi untuk terjaga, tapi pikiranku masih kemana-mana. Kejadian hari ini benar-benar membuatku miris. Anak yang baru 16 tahun itu, anak yang sudah ku asuh sejak bayi itu, siapa sangka menderita seperti itu.

"Entah berapa lagi yang akan muncul ke permukaan" ujarku membayangkan kepribadian-kepribadian widya yang sekiranya akan muncul.

Aku begitu yakin kalau kepribadiannya bukan hanya satu itu. Pasti ada yang lainnya lagi. Ini bukan kali pertama aku mengurusi pasien seperti Widya.

Tapi, kenapa harus Widya?

Mataku masih menerawang jauh menembus gelap pekat sisi lautan luas yang tak lagi terjangkau sinaran mataku. Seperti kasus Widya, aku harus menyelami gelap pekat hati dan isi pikirannya.

"Aku harus menolongnya" ucapku.

Dering telepon dari ruang tengah menarik kesadaranku kembali dari lamunan.

"Jam berapa ini?" ujarku sedikit kesal, mengingat siapapun yang menelpon ke nomor telepon rumahku pastilah bukan orang yang dekat denganku. Apalagi sudah hampir tengah malam seperti ini.

"Eh, ini.." mataku menatap ke arah layar kecil telepon rumah. Nomor yang tak asing. Itu nomor telepon rumah Widya. "Hallo?"

Sepi tak ada suara sedikitpun. Apakah ini hanya semacam telepon iseng saja atau tidak, akupun juga tak tahu pastinya.

"Halo?" ucapku sekali lagi dengan separuh menahan amarah. Tapi tetap saja sia-sia.

Aku masih berdiri bersandar di dinding sambil memegangi gagang telepon yang masih juga tak ada suara sama sekali.

"Halo Mira? Widya?..Halo!"

Akhirnya kesalku tak tertahan lagi. Ku tutup telepon itu. "Apa ini kepribadian lain anak itu?"

Aku mondar-mandir di sekitaran telpon memikirkan tentang segala kemungkinan dari telepon itu. Tak biasanya orang rumah itu menelpon ke nomor telpon rumahku. Biasanya mereka pasti menelpon nomor handphone-ku.

"Apa aku ke sana saja?" tanyaku memastikan apa yang harus aku lakukan.

"Tapi semalam ini?" ujarku tak percaya jika harus mengendarai mobil ke rumah mereka pada jam sebelas malam seperti ini. "telpon lagi? ya telpon lagi"

Bergegas tanganku menelpon ulang panggilan masuk terakhir tadi. Tapi lama aku menunggu, sama sekali tak ada yang mengangkat. "Aku harus kesana, sepertinya" ujarku sambil meraih jaket yang menghampar di atas sofa dan kunci mobilku.

***

Mobilku akhirnya sampai juga. Aku memarkirkan mobilku kurang lebih satu blok jaraknya. Entah salah ataupun tidak, tapi yang pasti itulah ide aneh yang muncul di benakku.

"Jika memang ada pencuri di sana, atau mungkin perampok, aku bisa mengendap-endap dengan sempurna" ucapku sambil mengangguk kuat.

Sudah hampir seperti penjahat aku hari ini. Langkah kakiku benar-benar kujaga agar bila menginjak daun keringpun tak menimbulkan suara sama sekali.

"Aku adalah angin" bisikku pada diri sendiri, berusaha meyakinkan diriku bahwa aku bisa berhasil berjalan tanpa menimbulkan suara sedikitpun.

Sepi???

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang