DUA BELAS

683 74 1
                                    


Langit mendung sejak pagi tadi. Bahkan sinar matahari sama sekali tak sampai ke bumi hari ini. Rumah ini benar-benar sepi. Sama sekali tak ada suara, selain suara pembawa acara kehidupan liar di televisi yang baru saja berhenti bersuara. Bosan aku menontonnya. Aku tak habis pikir dengan acara itu. Mereka sibuk mencari ular di alam bebas. Tapi setelah bertemu dengan hewan melata itu, salah satu pembawa acara justru sibuk menjerit-jerit ketakutan. Mengapa ia ketakutan? Padahal dari awal jelas dia sudah tahu bahwa acara ini pasti ada hubungannya dengan hewan itu.

Rasanya tubuhku terbanting cukup kuat ke atas sofa. Harusnya aku menggunakan waktu ini untuk tidur. Tapi tak bisa. Mataku hanya menatap kosong pada langit-langit. Untung saja Tante Suria segera pergi setelah hari itu. Aku bahkan tak menyalaminya saat ia pergi. Ya, aku bahkan pura-pura tidur saat itu.

Masih sakit hati aku kepadanya. Bisa-bisanya ia membicarakan teori bodohnya itu kepada orang lain. Mengapa ia tak membicarakannya lebih dulu denganku? Aku tahu ia seorang psikolog yang hebat. Sudah banyak penghargaan yang ia dapatkan. Tapi bukan berarti ia bisa seenaknya menyebut aku sakit mental. Menyebutku dengan sebutan kepribadian ganda. Apalagi sampai menggunakannya untuk menuduhku sebagai seorang pembunuh.

Bahkan seorang penjahatpun, masih punya hati nurani untuk tidak menghabisi keluarganya sendiri...

Sudah hampir genap seminggu, tapi rasa kesalku masih juga tak berkurang. Membayangkan raut wajahnya saat membicarakanku saat itu saja, sudah membuatku benar-benar ingin menjambak rambutnya. Bahkan jantungku masih sepanas satu minggu lalu. Tak ada yang berubah.

"Besok harinya" ujarku. "semoga besok hasil pemeriksaan resmi sidik jari itu membuahkan hasil"

***

Paman Juno masih tak ada di rumah, padahal sudah lewat pukul 7 malam. Pria itu benar-benar sibuk sekali. Sejak pertama ia membawaku ke rumah ini, hanya satu hari saja ia bisa pulang cepat. Tapi biasanya ia mengabariku jika akan pulang telat. Benar-benar seperti ibuku. Wanita yang bahkan tak punya waktu lagi untuk merawat dirinya sendiri. Andai saja aku sempat untuk membahagiakannya sebelum ia tiada.

Ya, seperti ibuku. Aku bahkan menganggap paman Juno sebagai orang tua pengganti untukku sementara ini. Baru sebentar aku mengenalnya. Tapi rasanya seperti sudah sangat lama mengenalnya. Sayang sekali, pekerjaan benar-benar membuatnya tak bisa mengurusi kehidupan pribadinya dengan baik. Bahkan di umurnya yang hampir sama dengan ayah, ia masih belum berkeluarga.

"Oh, ya. pakaiannya!" ujarku sambil menepuk dahiku. Bergegas aku berlari ke halaman belakang. bahkan untuk mengangkat jemuran saja aku sampai lupa. Untung saja belum turun hujan, meskipun angin kencang sudah mulai menerbangkan beberapa kaos dan celana pendek paman Juno sampai ke ujung pagar.

"lucu sekali" ujar seorang perempuan, tiba-tiba.

Beberapa kali aku menepikan rambutku yang menutupi pandangan.

"Sejak kapan kau di sini?" tanyaku heran. Meskipun mataku masih tak mengenal sosok perempuan di depanku itu, tapi aku merasa sudah pernah bertemu dengannya. Dari suaranya ia bukanlah seorang yang asing buatku. Tingginya hampir sama denganku, sepertinya umurnya juga.

"Sudah lama aku mengawasimu" ucapnya sambil tersenyum. "Kau saja yang terlalu banyak memikirkan masalahmu" ia mengambil celana pendek yang jatuh tepat di dekatnya.

"Kau siapa?"

"aku?"

"Ya, kau siapa?" ucapku. Tubuhku bergidik. Tanpa kusadari kakiku mulai mundur perlahan. Setidaknya, jika aku bisa segera berlari ke pintu rumah yang tepat sekali berada di belakangku, aku pasti sudah berlari. Tapi sayangnya rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang