ENAM

837 77 6
                                    

AAAAAAAARGH.....

Entahlah, apa mungkin ini akhirnya. Aku hanya menutup mataku rapat-rapat sambil menjerit. Berharap ada seseorang yang datang menyelamatkan aku. Yang terbayang hanyalah menangan-kenanganku bersama ayah dan ibu. Semuanya seolah berputar-putar di depan mataku.

Apa aku benar-benar akan berakhir seperti ini?

"HEY!!!...." jeritnya. "Mengapa kau menjerit seperti itu?" tambahnya lagi. aku mendengar napasnya memburu seolah benar-benar merasakan kesal dengan suara ketakutanku.

"Berhenti di sana" ujarku sambil mengintip posisi Pak Willy lewat sela-sela jari yang menutupi wajahku.

"Kenapa aku harus berhenti?" tanyanya lagi. Suaranya masih saja meninggi seperti tadi. Jaraknya hanya beberapa langkah dariku. Dengan tubuhnya yang setinggi itu, pasti dengan mudahnya ia dapat meraihku. Aku mendorong-dorong tubuhku ke sudut pintu berharap keajaiban datang dan aku bisa menembus pintu ini dan keluar saja.

Meskipun mustahil.

"PERGIIII....!" Jeritku lagi.

"HEY, DIAMLAH" Balasnya. "Kau ingin semua tetangga terbangun?"

"Biarlah mereka semua bangun dan kemari"

"Ya, dan mereka akan segera menelpon polisi" jelasnya. Sementara aku terdiam seketika.

"Dan kau akan segera dibawa kembali ke penjara" diamku semakin menjadi-jadi.

"Sadarlah, kau itu sekarang berstatus tersangka"

Aku hanya terdiam mendengarkannya ia berbicara.

"Dan sekarang bertambah menjadi buronan"

Aku tak memikirkan itu tadi. Betulah kata-katanya. Ketakutanku benar-benar telah membuatku hilang akal.

"Tapi kau pembunuh Ibu dan Ayahku" aku mencoba untuk berbicara lagi. meskipun harus separuh berbisik.

"Hanya gara-gara foto dan obat itu saja?"

"Itu obat yang aku bahkan tak pernah meminumnya" Jeritku berusaha menjelaskan. Meskipun detak jantungku memburu tak karuan.

"Lantas?"

"Pasti kau yang meninggalkan obat itu" Tambahku berusaha menjelaskan dengan terbata-bata. Tubuhku rasanya lemas seperti tak ada tulang. Aku seperti melihat tanggal kematianku sendiri saat ini. "foto itu juga" tambahku.

"Darimana kau dapatkan foto itu?"

"Kapan kita pernah berfoto?"

Pak Willy hanya tersenyum semakin lebar. Tapi matanya membuatku merasa senyumnya hanyalah bualan, hanya dibuat-buat.

"Biar ku jelaskan" Ucap Pak Willy. Tapi dengan nada bicara yang sangat santai. Tapi tetap saja aku menutupi wajahku darinya.

"Pertama, lihat foto itu baik-baik" ucapnya. Sejujurnya aku ragu-ragu ingin melepaskan pandanganku darinya. Takut-takut ketika mataku berubah fokus, ia langsung menyerangku entah dengan kayu, pemukul bisbol atau apalah.

"Lihat dulu"

Butuh lima menit untukku meyakinkan diri sendiri agar aku bisa memberanikan diri menurunkan tanganku dan melihat ke foto yang ia bicarakan. Siapa sangka, rasa takutku tadi benar-benar berdampak secara fisik pada foto dan botol di tanganku.

Aku menggosok-gosok foto itu di telapak tangan kiriku. Berharap mengetahui apa sebenarnya yang ia maksudkan di dalam foto itu.

"Apa yang harus aku lihat?" tanyaku marah.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang