DELAPAN

799 78 7
                                    

Ketakutan yang tiba-tiba menyerangku secara membabi buta, membawaku berlari begitu jauh dari stasiun kereta itu. Langit malam ini benar-benar gelap. Tak ada bintang sama sekali. Tapi hujan tak juga turun setetespun. Malam yang benar-benar membingungkan, sama seperti apa yang aku alami saat ini.

Jujur, aku tak habis pikir dengan apa yang aku alami beberapa jam tadi. Bagaimana mungkin aku hendak ikut bersama orang itu. Tapi beruntunglah aku, Tante Suria membongkar kebohongannya sendiri tepat sebelum kereta itu terlanjur berangkat.

Bagaimana jika aku baru tahu ketika kereta telah bergerak?

Pikiran itu terus-terusan terngiang di kepalaku. Membayangkan aku harus berlarian menelusuri gerbong-gerbong, atau mungkin harus menaiki atap gerbong kereta dan dikejar oleh seorang pembunuh ayah dan ibuku. Hah, belum melakukannya saja, lututku sudah bergetar hebat.

"Hampir saja aku menjadi korban selanjutnya" ucapku separuh berbisik ketika sampai di halte bus. Mobil yang berlalu di jalanan bahkan dapat aku hitung satu-satu dengan akurat, pastilah ini sudah tengah malam.

Sudah kuputuskan untuk melanjutkan rencana awalku, kembali ke rumah dan mencari sesuatu yang sekiranya dapat kujadikan sebagai barang bukti bahwa aku tak bersalah.

Entah sudah berapa kali aku menelusuri jalan di malam hari. Tapi beruntungnya, kali ini aku membawa uang yang cukup di kantong jaketku. Meskipun tante suria hampir menjebakku, tapi aku harus tetap berterima kasih padanya karena jumlah uang yang lebih dari cukup untuk setidaknya bertahan selama 3 hari ke depan.

Ya, walaupun tetap saja aku harus berjalan kaki hari ini ke rumah, sebab tak ada lagi jadwal bus yang beroperasi saat ini. Aku harus bergegas, sebab aku tak tahu siapa lagi yang akan aku temui dan situasi macam apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku harus segera pulang!"

***

Tinggal satu blok lagi, dan aku akan sampai ke rumah. Entah sudah berapa jam aku berjalan, yang pasti kakiku sudah berat terasa. Aku pikir kejadian-kejadian di film yang biasanya ku tonton tidak akan mungkin terjadi di dunia nyata. Tapi ternyata, hampir semua scene-nya telah aku alami hanya dalam beberapa hari ini. Seharunya ada sutradara yang tertarik denganku dan mengajakku bermain film.

"Hey!"

Seseorang memanggilku tepat di pinggir telinga kiriku. Sontak aku mundur beberapa langkah menjauhi asal suara itu. Tubuhku bergidik lagi, tapi kali ini bukan karena manusia. Jujur, yang terbayang di benakku ketika mendengar suara itu, seperti suara kuntilanak. Sebab mana mungkin ada wanita yang masih berkeliaran di luar pada jam-jam segini. Kecuali aku.

Mataku berusaha memfokuskan pada bayangan sosok di lorong sempit itu. Ya, suaranya memang berasal dari dalam lorong itu. Suara langkahnya saja membuat bulu kudukku merinding. Bukan karena suara yang terlalu keras, tapi karena suaranya seperti terseret-seret.

Apakah ia suster ngesot?

Tapi di sini sama sekali tak ada rumah sakit. Seberapa jauh sekiranya suster ngesot itu berkelana hingga sampai sini?

Setelah sosok itu berdiri tepat di bawah sorot lampu jalan, barulah aku tahu. Ya, dia memang seorang perempuan. Tepatnya masih seperti gadis seumuranku.

"Kau siapa?" tanyaku memastikan. Tubuhku masih saja dalam posisi siap. Ya, siap bertahan, siap lari, tapi juga siap pingsan.

Mana mungkin aku tak pingsan. Wanita secantik dia, ada di lorong gelap di malam hari. Apalagi kalau bukan hantu. Otakku memaksaku untuk menghidari kontak mata dengannya, tapi rasa penasaranku jauh lebih kuat untuk tetap menatapnya. Aku seperti menunggu "Kapan sekiranya wajah cantik itu berubah menjadi menyeringai dengan gigi-gigi tajam dan panjang?"

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang