DUA PULUH DUA : Sebuah Percakapan Di Dalam Sarang

577 64 2
                                    

Dalam sebuah sarang kecil, dua jiwa saling berdebat tak henti-hentinya. Setelah semua yang terjadi, hingga akhirnya Dila yang menguasai tubuh inang.

"Tidak bisakah kita merebut alih kendali tubuh ini?" tanya William geram. Sesekali matanya melirik sosok jiwa yang terbaring lemah di dekat mereka, Jiwa Widya.

"Berapa lama lagi jiwa Widya bisa bertahan?" tanya William lagi.

Dyana hanya bisa menggeleng. Tubuhnya lemas. Merebut kembali tubuh inang terlalu sulit dilakukan. Syaratnya hanya satu, tubuh inang harus dalam keadaan kosong. Tapi sayangnya semua kepribadian sudah tahu itu, termasuk Dila.

"Kuharap Dila lupa meminum kafein" ucap Dyana dengan suara sayup seolah hal yang ia ucapkan adalah sesuatu yang benar-benar tak mungkin terjadi.

William bahkan tertawa mendengar kalimat yang diucapkan Dyana.

"Jika itu satu-satunya solusi, mungkin Tante Suria sudah masuk penjara saat kita akhirnya bisa merebut alih tubuh inang" balas William sambil tertawa. "Kita mungkin bisa menunggu sampai kapanpun, tapi ada pengecualian pada Widya"

"Kau benar" balas Dyana. "Jujur, aku tak pernah menyangka jika Dila jauh lebih buruk daripada dirimu"

"Maksudmu?" Tanya William. Darahnya mendidih seketika mendengar ucapan Dyana.

"Maksudku, dengan sifat temperamenmu itu, aku jauh lebih mudah percaya jika kau yang membunuh" jelas Dyana. "Bukannya Dila"

"Hehehe" tawa William lepas. "Meski temperamenku buruk, bukan berarti bisa aku akan melakukan semuanya semauku"

"Andai Paman Judith masih ada" mata Dyana menerawang entah kemana.

"Ya, paling tidak kemungkinan kita untuk merebut kembali tubuh inang jauh lebih besar lagi ya"

"hmmm"

"Tapi keberadaannya juga tak akan terlalu membantu" jelas William. "Ia terlalu melankolis untuk berperan sebagai orang tua yang bijak"

Dyana tertawa. Otaknya berlarian membayangkan Paman Judith yang selalu saja menangisi Mira, ibu Widya. Padahal jelas dia tahu jika ia hanyalah bagian dari kepribadian Widya yang tak bisa kemana-mana. Apalagi untuk mewujudkan mimpinya, menikahi Mira.

"Bahkan kematian paman Judith pun sia-sia" tambah Dyana.

Seketika tawa mereka berdua terlepas.

"Apa sebaiknya kita membangunkannya saja?" tanya William.

"Widya?" tanya Dyana balik.

William mengangguk. "Setidaknya jika dalam wujud yang sama seperti ini, mungkin dia akan lebih mudah menerima kita"

"Kau tahu konsekuensinya kan?" ucap Dyana kesal.

"Tapi jika terus seperti ini, keberadaan kita juga terancam" ucap William. "Walau bagaimanapun, Widya adalah pemilik asli tubuh ini"

Lama Dyana termenung memikirkan kata-kata William. "Kau betul" ucapnya pelan.

"Mana yang lebih baik?" tanya William.

Dyana termenung. Jelas tak ada pilihan yang lebih baik dari keduanya. Sebab keduanya akan tetap berakibat sama pada Dyana ataupun William.

"kau pun tak bisa menjawabnya kan!" ujar William. "Aku sudah lama memikirkannya"

"Apa?"

"Mungkin ini memang saatnya kita menghilang"

"Kau yang dulu paling keras ingin tinggal di dalam tubuh ini" ucap Dyana separuh membentak. Pupil matanya membesar, seolah ikut ngotot tak percaya dengan apa yang William pikirkan.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang