TUJUH

861 82 2
                                    

Paman willy tepat membuka pintu ruang tamu berbarengan dengan tubuhku yang meluncur menuju dinding. Ia tersenyum menatap wajah orang yang kini berdiri di depan pintu rumahnya.

"Seperti biasa..." ujarnya pada tamu itu. "Kau selalu terburu-buru"

Paman Willy melebarkan pintu agar tamu itu dapat lebih leluasa memasuki rumahnya. Ternyata tante Suria yang bertamu jam segini. Senyum paman Willy masih saja tak terhapuskan dari wajahnya.

BRUKKK....

"Apa itu?" Tanya Tante Suria.

Dengan reflek mereka berdua saling bertatapan.

"Widya?" tanya Tante Suria lagi.

Buru-buru mereka berlari ke arah datangnya suara, lantai dua.

"WIDYAAA.....!" jerit tante Suria melihatku terkapar di atas lantai kayu dingin itu.

Mataku terasa berat, hingga aku tak bisa membedakan lelaki ataukah perempuan yang sedang menjerit mendekatiku itu. Entahlah, apakah ini akhirnya ataukah Tuhan masih memberikan aku kesempatan untuk menyelesaikan dan membersihkan namaku dari tuduhan itu.

***

Ruhku rasanya mulai kembali berkumpul kembali ke tubuhku. Aku merasakan usapan ibuku. Berkali-kali tangan itu mengusap kepalaku. Ibu?

Jujur saat ini aku bingung. Apakah sebenarnya aku masih hidup, dan ternyata semua yang terjadi semuanya hanya mimpi buruk yang akhirnya berakhir. Atau sebaliknya semua adalah kenyataan dan saat ini aku berada di pangkuan ibuku di akhirat?

Perlahan-lahan kubuka mataku berusaha untuk memastikan apakah aku telah berada di akhirat atau tidak.

Syukurlah...

Aku menghembuskan napas panjang. Lega rasanya aku masih hidup. Perlahan, kuatarik tangan yang masih setia mengusap kepalaku dengan penuh perhatian. "Tante..." ujarku lirih.

Wanita itu tersenyum padaku. Tiba-tiba saja air mataku tak terbendung lagi, seperti air bendungan yang bocor dan mengalir dengan derasnya. Ia menarik tubuhku dan memelukku erat. Pak Willy hanya tersenyum melihat kami berdua berpelukan.

Sejujurnya aku menangis bukan karena bertemu tante Suria. Melainkan karena usapan tangan tadi yang membuatku harus mengingat kembali semua kenangan bersama ayah dan ibuku.

"Menangislah" akhirnya tante Suria bersuara. Aku masih terus menangis. Sama sekali tak bisa berhenti.

"Apa yang harus aku lakukan tante?" tanyaku.

"kau tak perlu lakukan apa-apa" jawabnya.

Segera aku melepaskan pelukanku, menatapnya.

"Apa maksudnya?" tanyaku. Tanpa diminta, pikiranku kembali terpancing, dan teringat dengan apa yang dikatakan pak Willy semalam. Apakah ia akan mengatakan hal yang sama?

"Ya, kau tak perlu melakukan apapun" jelasnya. "Kau sudah cukup lelah dengan semua ini, sayang"

"Lalu apakah semua ini akan selesai begitu saja?" tanyaku. Emosiku kembali terpancing rasanya. Padahal pelukan itu sejenak membuatku merasa aman. Aku merasa akan mendapatkan dukungan untuk rencanaku memuktikan bahwa aku tak bersalah. Tapi nyatanya sama saja.

"Sebaiknya kita pergi" jawabnya. Kulihat pak Willy ikut mengangguk. Jelaslah ia mengangguk, itu semua perkataan yang persis ia katakana padaku sebelumnya. Sebenarnya, yang terjadi adalah ia mengangguk menyetujui idenya sendiri, bukan ide tante Suria.

"Tapi tante..."

"Ayo kita siap-siap" ujarnya. Ia mengusap air mataku dengan tangan lembutnya.

"Mas, kau punya tas ransel?" tanyanya tiba-tiba pada pak Willy. Sementara aku masih tak percaya dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di kamar ini.

SNEAK A PEAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang