A Date with Brondong

8.6K 468 5
                                    


Zhiva selesai bersiap pukul 8.05 namun handphonenya terus berdering sejak 20 menit sebelumnya.

" Gue turuuuuun..." serunya tanpa melihat peneleponnya karena sudah tahu.

Keluar dari pintu, dilihatnya sedan hitam tempo hari sudah menunggu. Anak bimbingnya berdiri bersandar di pintu mobil. Buru - buru dia turun tangga dari lantai rumah susunnya yang dilantai 2.

" Lelet," komentar Gastha.

" Bawel. Baru juga telat 5 menit," balas Zhiva.

" Gue udah nungguin dari setengah jam-an..."

" Yang bego siapa? Janjian sendiri jam 8, datang kepagian."

" Gue nggak mau telat di first date," sahut Gastha acuh. Namun berhasil membuat degup jantung Zhiva lebih cepat dari biasanya.

" ABG labil," balas Zhiva, menutupi rasa canggungnya.

Sejujurnya, bukan hanya Zhiva yang jantungnya berdegup lebih cepat namun Gastha pun merasakan hal yang sama. Guru privatnya itu mengenakan pakaian yang berbeda dari kesehariannya. Dia mengenakan dress berwarna hijau mint dengan panjang di bawah lutut dan cardigan berwarna senada. Biasanya dia melihat guru privatnya dengan jins, T-shirt kebesaran atau kemeja dan jaket. Rambutnya pun digerai padahal biasanya selalu dikuncir asal. Tak tahan untuk tak menggoda, Gastha berujar,

" Niat banget dandan buat ngedate ama gue."

" GR! Gue males ganti baju buat ngedate nanti siang, biar sekalian..."

" Gue pikir lo nggak bisa pake baju cewek. Ternyata keren juga," lanjut Gastha tanpa ekspresi dan lagi - lagi debaran muncul hati Zhiva.

" Lo pikir gue apaan?" balas Zhiva sambil mencubit pinggang cowok itu. Lagi - lagi, pekikan terdengar dari mulut Gastha akibat cubitan maut Zhiva. Spontan, diinjaknya rem kuat - kuat hingga Zhiva hampir terbentur dashboard.

" Sinting, lo! Hampir aja gue kebentur!" omel Zhiva. Gastha tak menjawab, malah mendekatkan wajahnya sedekat mungkin ke wajah gadis itu.

" Gue udah bilang, gue nggak mau dicubit. Kalo lo cubit gue, gue bakalan cium bibir lo!"

Tangan Zhiva otomatis menjitak kening pemuda itu.

" Bocah kurang ajar!" umpat Zhiva kesal. Tanpa merasa bersalah, Gastha melajukan mobilnya lagi. Untuk ketiga kalinya, jantung Zhiva berdegup abnormal.

Gastha menghentikan mobilnya di sebuah cafe 24 jam. Zhiva bertanya heran,

" Lo jadi beli buku nggak, sih?"

" Sarapan dulu. Gue laper," jawabnya datar. Zhiva menurut.

Ketika hidangan breakfast ala cafe yang berupa sandwich tersaji di depan mereka, Gastha tak membuang waktu dan segera melahapnya.

" Laper banget ya?" tanya Zhiva.

" Iya. Gue dari pagi buta udah nyetir. Nungguin cewek dandan lelet terus nyetir lagi, gimana nggak laper?"

" Maaf, Tha...gue cuma telat 5 menit ini. Lagian kamu juga nggak nyamper ke dalam, cuma missed call berkali - kali. Malah ganggu proses dandan," jelas Zhiva merasa kasihan dengan pengorbanan anak bimbingnya ini.

" Gue nggak tahu nomor rumah lo yang mana, gue text juga paling nggak dibales. Gue niat telepon aja malah dikira missed call."

" Hei...maaf, ya...gue seriusan nggak tau kalo lo mau nelepon, gue pikir lo cuma nggak sabaran karena nungguin. Sorry, ya..." suara Zhiva terdengar tulus dan kali ini digenggamnya tangan kiri Gastha yang bebas. Gastha nyaris tersedak dengan sentuhan itu. Lembut dan hangat tak hanya sampai ke hatinya namun juga menyentil gairahnya yang tadi sempat bangun melihat penampilan Zhiva dan sudah teredam, dan kini bangkit lagi.

"Definitely Not" Karma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang