Another Disaster

7K 398 4
                                    

Zhiva terbangun pagi itu dan mendapati betapa kepalanya berputar. Sambil berpegangan pada apapun yang kokoh dan bisa dijadikan penopang, Zhiva berhasil sampai di kamar mandi. Masih merasakan pusing, dia keluar dari kamar mandi, tiba - tiba matanya tertumbuk pada kalender meja di atas meja belajarnya. Merasa ada yang aneh, dia mengingat – ingat sesuatu. Sedetik kemudian kesadaran menghantamnya, bulan ini dia belum mendapatkan tamu bulanan yang seharusnya dua minggu lalu. Bodohnya dia, karena selama ini siklusnya tak teratur, dia merasa wajar namun biasanya hanya akan maju atau mundur dari 3 hari hingga seminggu, kali ini terlambat lebih dari 7 hari, Zhiva didera ketakutan atas bencana lain yang akan menimpanya.

Zhiva memutuskan membeli testpack dan tak hanya satu namun tiga sekaligus. Ketika yang pertama menunjukkan hasil yang menambah mimpi buruknya dan hantaman telak mengenai otaknya, hatinya masih belum meyakini. Baru ketika ketiganya menunjukkan hasil yang sama, yaitu dua garis merah, Zhiva merasa dunianya seketika runtuh.

Hari itu adalah hari terakhir les privatnya ke Gastha, karena esoknya adalah hari terakhir ujian. Dengan rasa campur aduk, gadis itu pergi ke rumah anak bimbingnya. Dia menjalankan tugasnya dan pertemuan terakhir itu berjalan wajar, padahal hati Zhiva dikuasai rasa panik, namun dia tak ingin kentara apalagi di hadapan pemuda itu. Ketika jam mengajarnya sudah habis, Zhiva membuka suara.

" Gastha..." panggilnya, ragu. Bibirnya terasa kaku menyebut nama pemuda itu. Antena Gastha menegak mendengar namanya disebut oleh suara yang begitu dirindukannya. Dia menjawab cepat dan spontan,

" Iya, Zhi? Eh...Kak..."

" Ini hari terakhir gue bantuin lo belajar. Gue minta maaf kalo selama bantuin lo, nggak banyak yang bisa gue lakukan dan banyak salah yang bikin lo sakit hati dan kurang berkenan...gue doain lo dapat hasil terbaik buat ujian lo."

Pertama kalinya, setelah beberapa waktu, Gastha mendengar gadis itu bicara cukup panjang. Matanya tertuju pada bibir mungil gadis itu yang selalu ingin dikecupnya.

" Berarti ini hari terakhir gue nganterin lo balik?" respon Gastha, sambil berkata begitu, Gastha mengambil kunci mobil dari dalam paviliun.

Zhiva berpamitan pada kedua orang tua Gastha, tak lupa berbasa – basi dengan permohonan maaf atas kekurangannya saat membantu anak mereka belajar atau sering merepotkan.

Lagi – lagi keheningan yang menyesakkan tercipta lagi, seolah menjadi atmosfer utama sedan hitam yang mengangkut mereka. Ketika akhirnya tiba di bangunan bersusun itu, Gastha tak menyiakan waktu setelah menghentikan mobilnya, dengan menggenggam tangan Zhiva seakan melarangnya untuk keluar mobil. Ketika Zhiva menoleh, Gastha memutar tubuhnya untuk menghadap gadis itu.

" Zhi! Sekarang gue udah bukan anak bimbing lo lagi, dan lo bukan guru privat gue lagi. Gue minta maaf soal kejadian itu. Gue tau gue salah besar dan nggak termaafkan, tapi please lo harus yakin, gue memang sayang sama lo. Please...kasih tau gue tentang apapun yang terjadi sama lo atau ketika perasaan lo berubah dan lo pengen pergi dari cowok lo sekarang..." Gastha mengucapkannya dengan sungguh - sungguh dan matanya menatap ke dalam mata Zhiva.

Ingin rasanya Zhiva memeluk pemuda itu dan memberitahu bahwa dirinya sedang mengandung anaknya, tapi dia melakukannya. Dipasangnya wajah datar, sebagai upaya untuk tak menitikkan air mata.

" Gue--turun dulu. Thanks buat tumpangannya," sambil melepaskan tangan Gastha. Usaha yang kurang efektif karena kedua tangan Gastha beralih ke kedua lengan Zhiva dan mencengkeramnya.

" Zhi! Kenapa sih lo selalu nggak mau respon kalo gue bahas masalah ini?!" suara Gastha meninggi.

" Apa yang mau dibahas? Semua udah terjadi. Gue respon pun nggak bisa balikin gue yang dulu. Gue tetap aja udah ternoda," susah payah Zhiva berusaha menjaga nada suara sedatar mungkin.

"Definitely Not" Karma [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang