Gastha mengamati lelaki yang keluar dari rumah kontrakan Zhiva. Dirinya merasa sedih karena posisinya tergantikan. Tempo hari, dirinyalah yang menghabiskan waktu di rumah itu. Ini adalah kali kesekian, dia mengamati rumah kecil itu bahkan ketika sang pemilik rumah tak juga menampakkan batang hidungnya. Setelah pertemuannya dengan Zhiva yang terakhir kali, hatinya dirundung rasa yang begitu kuat untuk mengawasi gadis yang dicintainya lebih sering.
Bila pada akhirnya, perasaan itu bukan menjadi firasat, Gastha akan menganggapnya kebetulan ketika ponselnya berbunyi dan nama Zhiva yang terpampang di sana.
" Tolong...perut...gue...akkhh..." suara itu dikenalnya dengan baik, namun bukannya membuat hatinya tenang justru kepanikan dan kecemasan menyergapnya.
" Zhi! Ada apa?! Buka pintunya, Zhi..." Gastha berusaha mencari tahu sambil mendekati pintu rumah kecil itu. Dibukanya gagang pintu namun terkunci. Dia mengetuk pintu itu sambil ponselnya terus menempel di telinga memastikan bahwa masih ada suara di dalam sana. Sayangnya, yang terdengar makin lama adalah rintihan yang makin melemah lalu senyap.
" Zhi! Lo nggak apa - apa? Buka, Zhi...buka pintunya..." Gastha berusaha menggedor pintu yang tetap bergeming itu.
Teringatlah Gastha pada sebuah pintu di belakang rumah Zhiva yang gerendelnya sudah terlalu tua. Mendobrak untuk masuk rumah dari sana akan lebih mudah. Tak menunggu lama, Gastha menuju ke arah belakang rumah kecil itu. Satu keberuntungan lagi, pintu itu bahkan tak terkunci karena Zhiva baru akan menguncinya bila dia benar- benar akan tidur.
Gastha memasuki pintu yang langsung terhubung dengan ruang dapur disertai cemas dan panik. Rasa senang karena melihat nama Zhiva terpampang di ponselnya mendadak terhapus begitu saja. Terganti oleh kekhawatiran karena mendengar rintihan lemah dan meminta tolong.
Matanya langsung tertumbuk pada tubuh kecil yang meringkuk, kedua tangannya memegangi perut. Namun matanya terpejam sementara bibirnya merintih sangat lirih.
" Zhi...lo kenapa?!" Gastha bertanya cemas. Tapi dia tak menunggu jawaban. Diraihnya ponsel dan segera menelepon dokter. Sambil bicara dengan dokter yang memberikan intruksi untuk memeriksa organ dan bagian vital yang mungkin bisa berbahaya, Gastha mengikuti setiap instruksi yang diberikan. Selusup kelegaan membersit di hatinya ketika mendengar dokter sedang dalam perjalanan menuju ke rumah Zhiva. Namun ada yang lebih melegakan, ketika melaksanakan petunjuk dokter untuk memerikasa tubuh kecil itu, dirinya mendapati bahwa tak ada darah yang keluar. Seperti yang dikatakan sang dokter, bayinya akan baik – baik saja.
Gastha memencet nomor lagi di ponselnya. Dia menghubungi Sandra. Bagaimanapun dia paham, Zhiva juga pasti membutuhkan sahabatnya, di saat begini.
Zhiva masih berusaha mempertahankan kesadarannya yang makin lama makin pudar, namun kekuatannya sudah hampir berada di titik nol. Lalu, dalam setitik kesadaran yang tersisa, dia yakin dirinya seperti melihat malaikat.
***
Sandra datang hampir bersamaan dengan dokter. Dia datang bersama Jonas. Setelah dokter memastikan tak ada masalah bila tubuh Zhiva digerakkan, barulah tubuh mungil itu dibaringkan ke atas futon di kamarnya. Sesuai petunjuk dokter, Gastha tak berani asal menggerakkan tubuh Zhiva yang lemah karena khawatir bila ada kesalahan bisa jadi bayinya dalam bahaya.
Dokter itu memeriksa Zhiva dengan hati – hati. Beberapa kali dahinya akan berkerut seperti tak yakin. Akhirnya setelah memastikan bahwa gadis itu terlalu lemah karena cairan tubuhnya berkurang banyak sekali akibat muntah, dokter itu bangkit dari futon dan menuju ruang tamu tempat Sandra dan Jonas menunggu. Gastha masih di dalam kamar, menyelimuti tubuh gadis yang matanya masih terpejam rapat. Baru kemudian dirinya menyusul dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Definitely Not" Karma [END]
Romance" First, jatuh cinta ama brondong. Second, lovey dovey antara guru dan murid, walaupun cuma guru privat, tetep aja buat gue, BIG NO! Third, hamil di luar nikah! Definitely not!" celoteh Zhiva melanjutkan. Sandra mengangguk - angguk. Dia selalu memah...