BAB 12

998 65 6
                                    

"Emi, udah bilang, kalau Emi gak mau dijodohin Pa!" kata Emi kesal, karena sejak ia bergabung untuk sarapan, Papa dan Mamanya membahas perjodohan yang sangat Emi tentang. Walaupun, Papa dan Mamanya memaksanya dengan cara apapun, tetap saja, ia akan menolaknya.

"Emi!! Papa, selalu nurutin apa kemauan kamu. Karena itu, kamu tidak boleh menolak apa keinginan Papa." kata Suryo dengan emosi yang sudah diujung kepala. Ia tidak suka, jika putri satu-satunya itu menolak keinginannya.

Nani mencoba meredakan emosi suaminya itu. Karena ia lihat, putrinya ketakukan dengan kemarahan Papanya. Walaupun Emi menutupinya, tapi Nani tahu jika anaknya itu sedang ketakutan. Suryo memang jarang marah atau membentak putrinya itu. Suaminya itu selalu menuruti keinginan Emi. "Tahan emosi kamu Suryo. Mungkin Emi punya alasan mengapa ia menolak perjodohan ini."

"Iya aku tahu, aku hanya terbawa emosi saja." kata Suryo mulai tenang dengan perkataan istrinya itu. Ia juga bisa lihat jika putrinya itu ketakutan dengannya. Melihat putrinya itu menunduk takut, ia sedikit menyesal telah memarahi putri kesayangannya itu.

"Papa tanya, kenapa kamu menolak perjodohan ini?" tanya Suryo sambil menggenggam kedua tangannya di atas meja makan.

"Pokoknya aku gak mau Pa!! Papa memang gak pernah ngertiin aku." jawab Emi lalu beranjak dari tempat duduknya sambil menenteng tas sekolahnya.

Nani langsung menyusul perginya Emi. Karena ia lihat putrinya itu seperti ingin menangis . Ia masih mendapati putrinya itu menggunakan sepatu di teras rumah. "Sayang, maafin Papa sama Mama. Kita cuma.."

"Udahlah Ma, Emi gak suka perjodohan itu. Emi pun juga masih ingin ngeraih cita-cita, ingin sukses." kata Emi memotong pembicaraan Mamanya.

Nani tidak bisa berkata lagi saat mendengar perkataan Emi yang sedikit membentak. Putrinya itu langsung berjalan pergi meninggalkan pekarangan rumah tanpa berpamitan dengannya. Nani hanya berharap, suatu saat pilihan putrinya itu berubah.

Emi berjalan dengan langkah cepat. Hari ini dia sedang kesal. Tadi malam sampai pagi ini, kedua orangtuanya selalu memaksanya untuk menerima perjodohan yang menurutnya gila. Ia tidak suka dijodohkan. Lagian, dirinya masih beranjak 17 tahun.

"Papa sama Mama memang gak pernah ngertiin aku. Aku tetap dipilihan awal, aku tidak mau dijodohkan. Lagian, cowok seperti apa yang akan dijodohkan Papa sama Mama untukku?"

Kiki yang awalnya mengendarai motor sportnya itu dengan kencang, tiba-tiba berhenti di sebelah cewek berambut sebahu. Sang cewek yang terkejut, langsung menghentikan langkahnya. "Mau bareng?"

Sepuluh detik berlalu, Emi masih hanya diam menatap cowok yang memakai helm. Walaupun ia masih bisa mengenali wajah putih tampan itu. Yang Emi fikirkan adalah pertanyaan Kiki barusan. Ia ragu jika cowok itu beneran berbicara padanya. Ia melihat kanan dan kiri, tapi ia tidak menemukan satu orang pun. Itu berarti, Kiki berbicara dengannya. "Lo..hm, ngomong sama gue?"

"Menurut lo?"

Emi hanya mengangkat kedua pundaknya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara Kiki yang sedari tadi menunggu jawaban dari mulut gadis itu, ingin segera pergi. Lihatlah, gadis itu seperti orang yang tidak mengenali siapa dirinya. "Lo gak jawab, artinya nolak."

Emi masih diam. Kehadiran cowok putih tampan itu membuat tubuhnya kaku.

"Gue cabut." kata Kiki bersiap untuk melajukan motor sportnya kembali. Tapi tangan kecil dengan hiasan jari-jari panjang itu memegang bahunya.

"Gue gak jadi nolak deh."

Mendengar perkataan dari Emi, membuat senyum seperti bulan sabit terukir diwajah Kiki. "Cepetan naik."

KauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang