Bab 3 - Dia Itu Cuma Sampah

62 7 14
                                    


Bab 3

Dia Itu Cuma Sampah

Tahun ajaran baru memang belum lama ini dimulai yang artinya para murid masih dalam keadaan super sibuk. Setelah perkenalan singkat antara guru dan murid, kegiatan sekolah berjalan dengan semestinya. Materi, Tugas, PR, semuanya mendadak menumpuk setinggi gunung everest. Tentu saja itu membuat para murid jadi lesu. Namun, anehnya itu tak berlaku untuk Hangga Priyangga.

Pemuda itu sangat rajin. Dia mendengarkan setiap pelajaran yang guru tuturkan. Menjawab setiap pertanyaan yang diberikan. Maju andai guru membutuhkan bantuan. Dan PR serta tugas yang segunung itu, dia dapat selesaikan dengan sukacita.

"Hangga, apa-apaan kamu ini, jawaban PR-mu salah semua."

"Maaf pak, padahal saya sudah mengerjakan sebisa mungkin."

Hangga bisa saja mengerjakan tugas telat, dia juga sebenarnya bisa menyalin PR temannya di sekolah sebelum jam pelajaran dimulai. Namun, baginya itu bukan pilihan. Dia dididik dengan keras. Dididik untuk jujur. Orang tuanya yang hidup pas-pasan begitu mengharapkan keberhasilan anak mereka. Hangga adalah seorang kakak tertua dari empat adiknya. Karena itulah dia harus bisa sukses. Apa pun yang terjadi, dia mesti berhasil demi kehidupan keluarganya dan adik-adiknya kelak.

Karena itulah, dia merajinkan diri, belajar dengan begitu keras dan tak kenal waktu. Meski hasilnya sekarang masih kurang memuaskan. Meski teman-temannya bilang kalau dia itu berotak udang, tapi dia tidak menyerah. Hangga percaya, kerja keras akan membuahkan hasil. Suatu saat dia akan memetik buah manis dari semua usahanya. Bila dia gagal sekarang, maka waktu masih bergulir dan itu artinya, hari esok yang lebih cerah masih menitipkan suatu harapan pada seseorang. Hangga hanya perlu menjadi orang itu. Menjadi orang yang dititipkan harapan.

"Kalau saja dia tidak rajin, aku tidak yakin nilai-nilainya akan membantunya. Dia murid paling terbelakang di sekolah ini. Bahkan al jabar saja dia tidak kuasai."

"Maksud Anda Hangga kan?"

Dua orang guru sedang berbincang kala jam istirahat datang. Memperbincangkan kemajuan para murid memang kadang menarik dan itu memang sudah kewajiban mereka untuk mengenali bakat dan perkembangan para murid. Namun, setelah perbincangan yang mengarah ke utara dan selatan dan tidak jelas, perbincangan itu bermuara pada seorang Hangga Priyangga. Murid yang dianggap paling bodoh dalam pelajaran di sekolah Kartika Kencana.

"Dia memang direkomendasikan masuk ke sekolah ini karena dianggap rajin dan memang keluarganya kurang mampu. Jadi apa boleh buat."

"Tapi setidaknya, dia harus menguasai prinsip-prinsip dasar dari pelajaran. Yah, aku mengharapkan dia dapat lebih baik kedepannya meski aku sangsi."

"Ya, saya juga berpendapat sama dengan Anda."

Bel berbunyi dan itu waktu bagi pelajaran untuk dimulai.

***

Pulang sekolah, Hangga dipanggil ke kantor oleh wali kelas. "Anda memanggil saya pak?" tanya dirinya ketika membuka pintu.

"Sini. Sebenarnya, ada yang ingin aku katakan."

"Saya akan mendengarkan."

"Jadi begini, Hangga, kamu memasuki banyak eskul kan?"

"Iya pak, benar. Voli, basket, bulu tangkis, PMR, pramuka, silat ..."

"... cukup." Wali kelas memotongnya.

"Memangnya kenapa pak?"

"Sebenarnya tidak apa-apa. Hanya saja," dia menghela napas dan mengembuskannya sampai beban di hatinya lega. "kamu tahu berapa nilai kamu?"

Komet 11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang