Bab 26 - Mata Merah Mencari Mangsa

13 5 0
                                    

Di babak pertama, bisa dikatakan Komet Angkasa menjadi bulan-bulanan dari Golem. Mereka memang mendapatkan peluang namun kualitas peluang yang dihasilkan sama sekali tidak sesuai harapan. Dan menjelang akhir babak kedua, permainan jelas dikendalikan oleh Golem. Pertahanan Golem memang hanya berisi tiga orang, tetapi, sewaktu mereka bertahan, tiga pemain tengah mereka membantu pertahanan dan ketika menyerang akan ada lima orang yang maju ke titik pertahanan lawan.

Bisa dibilang, skor sekarang menunjukkan betapa lemah dan tidak kompaknya para pemain Komet Angkasa. Byandra sudah sebisa mungkin mengompakkan tim saat latihan, tapi sepertinya usahanya belum berhasil terutama bagian lini tengah ke depan. Di lini itu, seolah jalur distribusi bola tertutup. Agung tidak dapat bebas dari cengkeraman Jagoraya. Meski ada lima orang pemain tengah, mereka tetap kesulitan.

Terlihat jelas sekali dalam pertandingan tadi kalau pola penyerangan mereka sama sekali tidak terbentuk dengan baik. Lanang yang seharusnya menjadi gelandang serang tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik. Serangannya dapat seringkali dipatahkan. Di babak kedua harus dilakukan perubahan.

"Sial. Kita sama sekali tidak mendapat peluang yang bagus." Ando marah.

"Maafkan aku, teman-teman." Lanang menunduk. "Ini semua karena aku tidak dapat melakukan tugasku dengan baik. Aku harusnya dapat mengirimkan umpan yang lebih baik pada kalian."

"Aku dan Irham juga tidak bermain baik sebenarnya." Andri berkomentar. "Kami memang dapat menghalau serangan lawan, namun kami tidak dapat mendapatkan bolanya untuk diberikan kepada Lanang."

"Teman-teman semua, berjuanglah." Hangga memberikan semangat.

Ando dan Genta yang kehausan meminum air dalam botol.

"Di babak kedua, aku dan Jalu akan berusaha membantu penyerangan." Jala menugusulkan sebuah ide.

"Jangan." Ando memotong. "Kalau kalian maju, pertahanan akan mudah dijebol mereka."

"Lalu, apa yang semestinya kami lakukan?" Jalu bertanya. Dia dan kakaknya merasa bingung sebentar. Rambut mereka yang seperti payung jamur coba dikeringkan dari keringat.

"Bagaimana Byandra?" Ando melihat pada ketua eskul.

"Di babak kedua, semua tergantung pada Siluman."

"Siluman? Siapa yang kau maksud?" Ando dan yang lain heran.

"Ah, teman-teman, maaf, sebenarnya yang Byandra maksud adalah aku." Seorang anak tiba-tiba saja menjawab. Dia berada di pojokkan. Tampangnya kelihatan bodoh dan nada bicaranya sama sekali tidak meyakinkan.

Yang lain terkejut.

"Kau, sejak kapan ada di sini?" Gilang berkomentar. "Aku tidak melihatmu dalam pertandingan tadi."

"Ah, maaf, sebenarnya tadi aku ikut main, tapi kalian sepertinya tidak menyadarinya. Itulah kenapa dari tadi aku tidak dioper. Maafkan aku. Aku seharusnya memberitahu kalian."

"Semenjak tadi dia berada di tengah. Aku beberapa kali melihatnya merebut bola." Mungkin hanya Agung yang menyadarinya.

"Agung, apa kamu serius?" Gilang coba memastikan. Agung mengangguk.

"Apa-apaan ini, bahkan ada anak yang keberadaannya tidak diketahui." Ando tidak habis pikir. "Byandra apa maksudnya semua ini?"

"Kalian bicara apa, aku pikir kalian menyadarinya."

"Mana kami tahu." Semua berteriak bersamaan, kecuali mereka yang menyadari keberadaan Siluman.

"Byandra, tolong, di babak kedua, mainkan aku. Aku yakin dapat berbuat sesuatu." Hangga meminta.

Byandra menggeleng. "Formasi di babak kedua masih tetap sama. Aku minta, Siluman bergantian dengan Agung untuk mengisi posisi depan. Semua ini tergantung pada Siluman."

"Maaf, apa maksudnya, aku sama sekali tidak sebagus itu. Aku baru bermain bola tiga bulan lalu. Dan juga, aku tidak tahu apa aku bisa menjadi penyerang atau tidak."

"Siluman, di babak kedua, kau akan menjadi pusat perhatian."

"Pusat perhatian?" Semuanya heran apa yang dimaksud oleh Byandra.

***

"Baiklah sodara-sodara sekalian, pertandingan babak kedua akan segera dimulai. Kita akan kembali me ... ssttst ... stssst." Komentar akhir Bung Geni tidak kedengaran.

"Baik sodara-sodara. Aku, Bung Petir akan mengomentari pertandingan ini."

"Hei, apa yang kau lakukan?" Bung Geni berusaha merebut mikrofon yang berada di tangan Bung Petir. "Akulah komentatornya."

"Komentarmu tadi kurang akurat dan sama sekali tidak bagus. Karena itulah aku akan menggantikanmu."

Bung Geni jadi sewot. "Maaf sodara-sodara sekalian, saya ada sedikit masalah. Sa ... sssst. Hei, kemarikan mikrofonnya."

"Tidak boleh, mikrofon ini adalah milikku."

Kedua komentator itu hampir pukul-pukulan.

"Hei, apa yang kalian lakukan?"

"Pak panitia, orang ini berusaha merebut mikrofon dari tanganku." Bung Geni mengadu.

"Tidak benar. Sebenarnya komentator di pertandingan ini adalah aku. Karena itulah—"

"DIAM!" Pak panitia menghilang sebentar. Bung Geni dan Bung Petir sama-sama heran. Tak lama, Pak panitia kembali membawakan mikrofon. "Sekarang kalian punya mikrofon sendiri-sendiri.

"Terima kasih." Baik Bung Geni maupun Bung Petir menunduk hormat.

"Baiklah sodara-sodara," Bung Geni berkomentar.

"Kita sudah lihat masing-masing pemain dari kedua kesebelasan sudah berjalan ke arah lapangan," Bung Petir berkomentar.

"Baiklah penonton, kita saksikan pertandingan babak kedua bersama-sama." Bung Geni dan Bung Petir berteriak bersama.

"Kenapa Hanu? Jangan terlalu khawatir. Kita yang akan memenangkan pertandingan ini. Lagi pula, kita sudah unggul." Jagoraya merasa ada sesuatu yang mengganggu Hanu.

"Tidak. Hanya saja ..."

"Bersemangatlah," Egga menampar pundak Hanu keras. Hanu terkejut. "Lagi pula, kau sudah mencetak gol. Di babak kedua ini, oper padaku ya."

"Ah, iya. Baiklah." Hanu sudah kembali seperti sebelumnya.

Ando masih tidak mengerti dengan yang dikatakan Byandra. "Apa kau yakin?" Begitu tanyanya setelah mendengar pemaparan strategi dari pemuda itu.

"Sangat yakin." Entah apa yang dipikirkan Byandra. Ando hanya berharap itu yang terbaik.

Mereka mulai berjalan ke tengah lapangan. Para pemain menempatkan diri ke posisi mereka masing-masing.

"Eh, apa kau tidak merasa aneh?" seorang penonton bertanya kepada temannya.

"Aneh?"

"Kenapa pemain Komet Angkasa cuma berjumlah sepuluh orang."

"Sepuluh, bukannya sepakbola itu ada sebelas pemain?"

"Coba kau hitung."

"Satu, dua, tiga ... eh, benar. Hanya ada sepuluh pemain. Padahal, tidak ada yang dikartu merah kan?"

"Entahlah aku juga heran."

Wasit menaruh peluit di mulutnya. Melihat ke masing-masing pemain dari kedua kesebelasan.

Priiiit.

Pertandingan babak kedua dimulai.

Dari Agung, bola dioper ke Siluman. Angin langsung bertiup kencang.

"Eh, siapa itu?" Egga lah yang pertama menyaksikan kehadirannya.

"Hahahahaha hahahaha. Akhirnya, aku mendapatkan bola." Mata Siluman memerah. Mencari mangsa.

Komet 11Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang