'Wah, asyik banget kayaknya makan sendiri.'
Alena berusaha mengabaikan suara itu.
'Kamu nggak bosan, tiap hari makan sendiri gitu?'
Alena bahkan tak menoleh dan terus melanjutkan makan siangnya.
'Kamu nggak punya teman, kan?' lanjut suara itu. 'Yah, lagian mana ada yang mau temenan sama kamu? Berasa temenan sama tembok, sih.'
"Hei!" Alena akhirnya berseru kesal sembari menoleh ke belakang.
Leo dan teman-temannya balik menatap Alena. Sementara Leo tampak berusaha menahan senyum, teman-teman Leo menatap Alena bingung.
"Kamu ngomong ke kita?" Leo memasang ekspresi polos, tak sedikit pun merasa bersalah.
Alena menyipitkan mata. Ingin rasanya ia menghampiri laki-laki itu dan membantingnya, tapi ia menahan diri.
"Jangan berisik." Hanya itu yang akhirnya dikatakan Alena, sebelum ia berdiri dan meninggalkan makan siangnya yang baru berkurang beberapa sendok.
Alena mendesis kesal ketika meninggalkan kafetaria. Tidak cukup dirinya tak punya satu orang teman pun, Leo membuatnya semakin parah dengan membuat semua murid di sekolah ini berpikir jika Alena adalah gadis galak dan mengerikan. Namun, Alena tahu, Leo sengaja melakukan itu. Dia hanya ingin membuat Alena kesal. Selalu begitu. Bahkan, sejak mereka masih kecil dulu.
Bahkan meski Alena membanting Leo ribuan kali pun, ia tak akan pernah merasa cukup untuk membalas sikap menyebalkan laki-laki itu.
***
Leo tak dapat menahan senyum ketika kembali ke kelas dan melihat Alena sudah duduk di kursinya. Dengan bluetooth headphone menutup telinga, gadis itu menatap lurus ke laptop di mejanya. Namun, Leo tahu, meski dia menggunakan headphone, saat ini apa yang ada di pikiran Leo pasti tampak jelas di kepalanya.
Terbukti dari desahan berat gadis itu kemudian. Ia menunduk, kedua tangan meremas rambut sepunggungnya dengan geram, lalu menatap Leo tajam dari balik poni yang agak berantakan. Leo segera menepis senyumnya dan berjalan ke arah gadis itu. Meski begitu, ia tidak berhenti dan melanjutkan langkah hingga di bangku paling belakang, tempat duduknya.
Leo mengacak rambutnya cuek ketika bersandar di kursinya. Tatapannya masih ke arah punggung Alena ketika ia menjungkitkan kursinya ke belakang. Saat ini pun Alena pasti bisa melihat ke dalam kepalanya.
Mengejutkan memang. Bisa melihat dan mendengar apa yang ada di dalam pikiran orang lain. Alena dan adiknya, Alex, juga sepupunya, Valent dan Vely, memiliki kemampuan itu. Mereka mendapatkannya dari orang tua mereka. Leo sendiri awalnya tak percaya ketika diberitahu oleh orang tuanya.
Ketika ia dan Alena berusia sepuluh tahun, ketika mereka sedang bermain bersama yang lain, Alena tiba-tiba berkata jika dia mendengar dan melihat hal-hal aneh di kepalanya. Saat itu, gadis itu begitu ketakutan. Leo juga ingat, dia menyebut Alena gila saat itu.
Lalu, sementara orang tua Alena berbicara pada Alena, Leo juga diberitahu oleh orang tuanya. Saat itu, papa Leo memintanya berjanji untuk membantu Alena. Papanya bilang, memiliki kemampuan seperti itu pasti berat dan sulit bagi Alena.
Memang, selama beberapa waktu, Leo berhati-hati dengan pikirannya ketika berada di dekat Alena. Meski ia tak bisa sepenuhnya mengendalikan pikirannya. Ia hanya anak sepuluh tahun kala itu. Namun, seiring Alena bisa membiasakan diri dengan kemampuannya, ia mulai kesal setiap kali melihat pikiran Leo. Ia mulai mengamuk. Dan hubungan mereka semakin memburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still, You (End)
Teen FictionMereka adalah musuh bebuyutan. Mereka saling membenci satu sama lain. Mereka pun saling bersaing satu sama lain. Hingga mereka sama-sama harus terjebak dalam kasus teror mengerikan di sekolah mereka. Alena yang keras kepala dan Leo yang tak bisa se...