"Trus, apa rencanamu sekarang?"
Leo dan Valent duduk di atas tempat tidur, dengan tab di tengah mereka.
Valent lantas mengambil menulis sesuatu di tab Leo. Nama murid itu.
Berlian.
Lalu, dia menulis waktu ketika terakhir kali mendengar pikiran Berlian, dan menggambarkan lokasi terakhir keberadaan murid itu.
Di bawahnya, Valent menulis nama murid yang ditemukan bunuh diri di aula sekolah. Lalu, jam pulang sekolah. Berikutnya, ia menulis jam ditemukannya murid, dan juga jam perkiraan murid itu meninggal. Valent bisa mendapatkan semua informasi itu ...
"Aku lihat dari pikiranya Kak Alena. Dia lihat dari pikiran petugas kepolisian yang datang ke sekolah tadi pagi," terang Valent.
Leo mengangguk-angguk.
"Satu hal yang pasti, ini penculikan di sekolah. Pelaku kemungkinan adalah orang yang paling ngerti sekolah kita. Dia bahkan bisa ngehindarin kamera pengawas. Di kasus pertama pun, di kamera pengawas nggak ada yang lihat murid yang bunuh diri itu ke aula. Kalau itu kasus penculikan dan pembunuhan, pelaku jelas tahu tentang kamera pengawasnya," urai Valent.
"Maksudmu ... kemungkinan orang di sekolah ..."
"Ya," sahut Valent pendek. "Atau, bisa juga, orang yang pernah masuk ke sekolah dan tahu baik tentang sekolah dan kamera keamanannya."
Leo menatap coret-coretan Valent dan berpikir. Jika memang pelakunya ada di sekolah, itu berarti, sekolah tidak aman. Jika orang tua mereka tahu ...
"Mungkin kita nggak bakal boleh masuk sekolah atau disuruh pindah sekolah," Valent melanjutkan pikiran Leo.
Leo mendesah berat. "Karena kamu sama Alena bisa lihat pikiran orang lain, dan mungkin, bisa lihat ke pikiran penjahatnya. Dengan kata lain, kalian mau nggak mau, bakal terlibat. Dan otomatis, itu bakal bawa kalian ke dalam bahaya."
"Well, itu berlaku juga buat Kak Leo. Sekarang toh, aku ngelibatin Kak Leo juga," tambah Valent.
Leo menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur, menatap tab di tangan Valent dengan lesu.
"Kayaknya buat kita hidup normal kayak anak-anak lain itu nggak memungkinkan, ya?" desah Leo. "Orang tua kita terlalu khawatir."
"Seenggaknya kita masih bisa main game kayak anak-anak lain." Valent mengangkat tab Leo. "Game detektif."
Leo mengerang protes. "Kenapa sih, Alena tuh nggak bisa nutup mata aja sama semua hal-hal mengerikan di sekitarnya? Kayak kamu gitu, misalnya. Kenapa dia harus bikin hidup dia ribet sendiri?"
"Om Zane sama Tante Ellena juga gitu, omong-omong. Suka ribet sendiri," ucap Valent santai, membuat Leo tergelak.
Beranjak duduk, Leo berkata, "Dua tahun lalu, aku masih ngerasa aneh karena kadang cara pikirmu bisa kayak orang dewasa di saat tertentu. Tapi, kalau dipikir-pikir, kamu selalu ngikutin pikiran orang lain, orang dewasa di sekitarmu. Mungkin karena itu, kamu ..."
"Seenggaknya aku nggak separah Kak Alena," sela Valent. "Bayangin kalau cara pikirku serumit dia."
Leo bergidik. "Kamu benar. Syukur deh, kamu nggak separah Alena."
Valent tersenyum geli. "Dan malam ini aku mau ke sekolah," katanya.
"Apa? Ke mana, katamu?" Leo baru saja bersyukur Valent tak serumit Alena, dan anak ini ...
Valent terkekeh. "Aku harus ngecek beberapa hal di sekolah. Dan lagi, siapa tahu orang itu balik lagi ke sekolah. Kalau dilihat dari kasus sebelumnya, murid yang diculik itu sempat hidup selama lebih dari dua puluh empat jam. Yang ini mungkin kayak gitu juga, atau bahkan, waktunya kurang dari itu. Kita cuma bisa berharap dia bakal bawa murid yang diculik itu ke sekolah dalam keadaan hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Still, You (End)
Teen FictionMereka adalah musuh bebuyutan. Mereka saling membenci satu sama lain. Mereka pun saling bersaing satu sama lain. Hingga mereka sama-sama harus terjebak dalam kasus teror mengerikan di sekolah mereka. Alena yang keras kepala dan Leo yang tak bisa se...