"Yakin lo mau pulang sendiri?"
Rinnai mengangguk.
"Gak mau pulang sama gue aja?"
"Gak usah Ran, gue udah sering kok pulang dari sekolah jalan kaki, kalau dijepang"
Keeran terkekeh, "itu mah dijepang Rin, ini kan di jakarta"
"Intinya sama sama pulang sendiri kan?"
"Yaudah gue pulang dulu ya"
Keeran mengangguk, "hati hati dijalan".
Keeran menatap punggung Rinnai yang semakin lama semakin menjauh dan menghilang.
Hari ini adalah hari yang membosankan bagi Rinnai.
Ia berjalan di tepi tepi jalan raya. Hari ini cuacanya mendung, mungkin sebentar lagi akan hujan. Rinnai mempercepat langkahnya.
Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara laki laki yang memanggilnya.
"Oy"
Rinnai menoleh kebelakang. Tetapi tidak ada orang.
"Oy"
Ia kembali menoleh kebelakang dan menemukan Vaarez yang tengah menyamai jalannya dengan gadis itu.
"Ngapain lo disini? Ngikutin gue ya?"
Vaarez menatap ke atas langit, "enak aja"
"Motor gue dipinjem abang gue, jadi terpaksa gue jalan kaki"lanjutnya.
"Lo kenapa gak dijemput?" Tanyanya.
"Pengen jalan kaki aja"
"Eh, lo maafin gue ikhlas atau enggak?"
Rinnai mengedikkan bahunya, "ya daripada lo buat badan gue jadi lebih pendek, lebih baik gue maafin lo"
"Dasar pendek"
Rinnai mengerucutkan bibirnya. Tak lama setelah itu turun setetes air langit ke bumi. Tetesan itu masih kecil kecil.
"Gerimis" keluh Rinnai.
Vaarez menutup kepalanya dengan tasnya.
"Lari. Kalau gak cepat ntar hujan deras" teriaknya.
Rinnai mengangguk paham.
Dan benar, tak lama setelah itu tetesan hujan besar turun menyusul hujan hujan kecil tadi.
Vaarez segera menarik tangan Rinnai dan mengajaknya untuk berteduh di sebuah kafe kecil yang tak jauh dari tempatnya berjalan.
Rinnai hanya mengikuti tarikan tangan Vaarez.
Vaarez mengibas ngibaskan rambutnya ketika sampai di depan kafe.
Rinnai yang sedari tadi diam kini menatap tetesan air yang jatuh dari atap kafe.
Bajunya basah. Dan ia kedinginan.
"Rambut lo basah Rez"
Vaarez melirik sekilas ke arah Rinnai dan kembali mengibaskan rambutnya.
"Ini udah dua kali"
"Maksudnya?"
"Ini udah dua kali gue ketemu sama lo dan kedua kalinya hujan turun disaat yang bersamaan. Kenapa ya?"
Rinnai mendongakkan kepalanya, "ya mungkin udah takdirnya"
Rinnai mengedikkan bahunya kemudian duduk disalah satu kursi kafe.
Vaarez mengikuti langkah Rinnai dan ikut duduk di kursi yang berada di depan Rinnai.
"Baju lo masih basah. Dimarahin petugas kafe baru tau rasa lo"
"Gak bakalan ada yang marahin kok"
Tak lama setelah itu terdengar suara petir yang cukup keras disertai hujan yang semakin lebat.
Rinnai menggosok gosokkan kedua tangannya. Sesekali meniup telapak tangannya.
"Kenapa lo gak suka hujan?"
"Ya gak suka aja, emangnya kenapa?"
"Gak papa sih, tapi aneh aja gitu. Disaat semua orang menanti nanti hujan, lo malah benci kalau hujan turun. Emang ada yang aneh ya sama hujan?"
"Enggak-"
"Kalau suka itu gak butuh alasan, pasti gak suka itu gak butuh alasan juga kan?" lanjutnya.
Rinnai mengangguk.
"Lo itu kayak laut yang gak berombak"
"Diam, tenang, tapi diam itu gak selamanya selamat"
Vaarez menatap Rinnai, "maksud lo?"
"Maksud gue, waktu pertama gue lihat lo, lo itu orangnya kayak pendiam gitu. Tapi ternyata lo jahil juga jadi cowo"
"Jahil gimana?"
"Buku diary tadi"
Vaarez mendekatkan wajahnya dengan Rinnai.
"Lo masih gak ikhlas kan maafin gue?"
Rinnai tertawa kecil, "menurut lo?"
Vaarez tak menjawab. Ia melihat ke jalanan yang semakin lama semakin basah. Bahkan hampir banjir.
Hujan semakin deras dan udara diluar kafe itu semakin dingin.
Vaarez menekan dadanya kuat kuat. Wajahnya berubah menjadi pucat.
Rinnai yang melihat itu menjadi khawatir.
Gadis itu memegang tangan Vaarez. Dingin.
"Rez, lo kenapa?"
Vaarez segera meletakkan kedua tangannya ke atas meja kafe.
"Gak papa. Cuma tadi gue cegukan. Terus dada gue agak sakit"
Rinnai menatap Vaarez lekat lekat. Ada sebuah kebohongan yang tersimpan di mata coklat Vaarez.
"Lo gak kenapa napa kan?"
Vaarez tertawa lalu mengacak rambut Rinnai yang sudah mengering.
"Gak papa. Sok khawatir banget sih lo sama gue"
Vaarez membuang muka dari Rinnai. Suasana kembali hening. Hanya suara derasnya hujan yang menemani keheningan itu.
"Rin, kita pulang sekarang aja yuk. Ini udah jam lima. Ntar kalau lo pulangnya maghrib terus orang tua lo tau lo pulang sama cowok, nanti dikira gue sama lo ada apa apa"
"Tapi masih hujan Rez"
"Takut banget sih sama hujan"
"Bukan gitu-"
Kata kata Rinnai menggantung ketika Vaarez dengan cepat menarik tangannya dengan erat.
***
Vaarez melepaskan helm nya ketika sudah sampai di depan gerbang rumah Rinnai.
"Makasih ya Rez, kali ini gue bilang makasih kan?"
Vaarez mengangguk pelan, "gue pergi dulu. Cepat masuk ke rumah"
"Lo gak mau gue pinjamin mantel?"
"Gak usah. Lagian rumah gue juga udah deket"
Rinnai hanya terdiam.
Terdiam menatap punggung Vaarez yang semakin lama semakin menghilang.
Terlintas suatu peristiwa di benak Rinnai tentang Vaarez,
Vaarez kenapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain with you
Teen FictionRinnai dan Vaarez. Mereka berdua bagaikan bayangan, selalu bersama tetapi tidak bisa bersatu. Hanya ada satu cara yang bisa membuat mereka menjadi bersatu, yaitu ketika hujan turun. Namun jika hujan menjadi pemersatu dan penghalang mereka berdua, a...