Bab 1: Freedom

1.7K 106 2
                                    

Arifin bersiul ke arah cewek-cewek yang asyik berselfie tak jauh darinya dan syukurlah dicuekin. Kalau dilihat dari badge seragam, sepertinya dari salah satu SMK di Ciwidey, Bandung Selatan.

Sore itu, memang dipenuhi anak-anak sepantaran mereka yang masih memakai seragam. Sama-sama merayakan pembagian rapor menjelang liburan semesteran.

"Hey, cewek, gabung yuk!" seru Arifin norak.

Cewek-cewek yang dipanggilnya ada yang cekikikan, banyak juga yang melengos.

"Ayo, atuh!" Arifin ndablek. Tetep usaha.

"Embung! (Nggak mau)" salah satu dari mereka akhirnya menyeletuk kasar. Menolak.

Deraian tawa langsung pecah, baik dari kubu si cewek, maupun kubu si Arifin sendiri.

Abichandra CS memang sedang duduk di salah satu meja di Glamping Lakeside yang merupakan restoran baru yang berbentuk perahu pinisi. Letaknya persis di dekat danau Patengan, dikelilingi perkebunan teh yang hijau dan berhawa segar. Keindahannya sungguh tak terlukiskan.

 Keindahannya sungguh tak terlukiskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sombong amat. Ntar cinta loh, Neng!" Arifin menebalkan muka. Mengkhususkan pandangannya pada si cewek yang kasar tadi. Kebetulan, justru si cewek itulah yang paling kece diantara teman-temannya

"Iyuh, najis!" si cewek bergidik jijik. Dia lalu ngajakin temen-temennya cabut dari situ. Tujuan mereka memang bukan untuk makan, cuma pengen numpang selfie doang.

"Najisnya apa, Neng? Mukhafafah apa mugholadzoh? Cuci pake tanah aja gampang najis mah, Neng. Asal Neng yang nyucinya, ya!" seru Arifin ke rombongan cewek-cewek yang berlalu.

Abichandra CS ngakak sekencang-kencangnya. Ini dia momentum yang paling mereka suka. Ketika Arifin untuk ke sekian juta kalinya ditolak cewek-cewek. Jahat ya mereka. Biarin. Biar Arifin kapok. Tapi yang udah-udah juga kagak pernah ada kapoknya tuh si Arifin. Terus aja mengulang kesalahan yang sama.

"Makanya ganti strategi atuh, Fin" Chandra susah payah menghentikan tawanya.

"Cewek jaman sekarang mah nggak mempan digodain begitu. Maneh kira ini abad 90 an? Cik atuh millennium gini mah ganti taktik. Yang rada elegan!" Teuku menjabarkan si sela tawanya.

"Nu kumaha sih elegan-elegan teh? (Yang gimana sih elegan itu?)! Teu ngarti (Ngga ngerti) aing mah!" Arifin cuek.

"Asik. Kadie mang soda susu mah nu simkuring! (Sini soda susu punya saya!)" Arifin lalu fokus ke soda susu pesenannya yang baru aja dateng, berikut spageti ala-ala nya.

"Tah elegan teh nu kieu, Fin! (Nih, elegan itu yang gini)" Abichandra inisiatif menambahkan dua sendok sambal cabe sekaligus ke piring Arifin.

"Yang kayak gini juga!" giliran Wisnu menambahkan sesendok penuh garam diatas spageti Arifin.

"Wilujeung (selamat) dinikmati elegan nya,  Fin!" kata Wisnu.

"Ah, dasar gelo! (Dasar gila)" rutuk Arifin, buru-buru menyingkirkan semua tambahan bumbu yang aneh-aneh itu sebelum keburu tercampur dengan spagetinya. Semua kontan ngakak lagi lihat Arifin misuh-misuh.

"Eh, kira-kira ntar kita bakal sekelas lagi nggak?" Wisnu mempertanyakan kemungkinan dua minggu ke depan.

"Teuing (Ngga tau)... " Teuku mengangkat bahu. "Biarin atuh kan masih bisa ketemu di sanggar OSIS," sergahnya, santai.

"Iya, tapi udah pensiun euy," Abichandra mengingatkan. Satu bulan kemarin, dia telah resmi melakukan sertijab alias serah terima jabatan ke juniornya. Abichandra bukan sang KETOS lagi sekarang.

"Biarinlah. Ngumpul mah ngumpul aja  atuh" ucap Chandra berusaha biasa-biasa saja. 

Setelahnya, semua langsung kompakan pura-pura fokus menyantap menu masing-masing. Sedih kalau membicarakan OSIS yang sudah menjadi rumah ketiga mereka selama ini. Apalagi sanggarnya. Tempat mereka semua 'kabur' dari realita kepenatan sekolah sejenak. Tentunya sekarang ini mereka nggak bakalan bisa sebebas dulu lagi. Kini, sudah ada  kepengurusan baru yang lebih berhak berlama-lama di sana.

"Kelas dua belas euy. Ngga kerasa..." Arifin berkomentar singkat, tatapannya mengawang jauh ke arah perkebunan teh di sekeliling mereka. Menyadari masa-masa SMA mereka akan segera usai hanya dalam hitungan bulan saja.

"Aku mah bebas kelas mana juga asal nggak bareng si Putra!" kata Arifin lagi. 

Putra adalah salah satu ikon yang cukup menakutkan bagi siswa-siswa di sekolah Abichandra. Tingkahnya yang kemayu dan konon cukup agresif dalam hal pendekatannya ke teman cowok, bikin mayoritas siswa jadi salah paham dan ingin mencari aman dengan cara menjaga jarak dengannya.

Dulu, Abichandra pernah jadi korban pedekatean si Putra waktu kelas X. Dan jangan ditanya perasaannya gimana. Yang jelas waktu itu dia pulang ke rumah dengan wajah pucat soalnya si Putra pernah nyamperin dia dengan tampilan yang wow banget.

"Eh, bukannya kamu pernah sekelas sama dia di kelas X, Bi? Gimana kesan-kesannya?" Chandra mulai geli. Daripada bahas yang mellow-mellow, mending seseruan aja.

Abichandra memasang muka lucu sebagai jawaban. Ogah ngegosip lebih lanjut. "Yang jelas aku kapok, deh. Habis perkara!"

Semua ketawa.

"Aku inget waktu kelas X si Putra pernah tuh nyamperin si Abi, pakai megang-megang tangannya segala. Mata si Putra ditempelin lakban hitam supaya mirip eye liner. Udah gitu, entah minjem hijab punya siapa. Yang jelas dia kece badai. Manglingin. Aku inget banget ekspresi si Abi sampai terpana-pana gitu. Naksir ya, Bi? Kirain itu si Lolita? Hahaha...." Wisnu ngakak mengenang kenangannya. Dia memang sudah sekelas Abichandra dari kelas X dan IX.

Semua ikutan ngakak, termasuk Abichandra.

"Terus gimana?' Chandra mendesak.

"Kayaknya si Abi udah terpesona sama kecantikannya si Putra... sampai si Putra akhirnya ngeluarin suara bassnya, 'Aku cantik ya, Bi?' Hahahah!" Wisnu lalu tergelak puas.

Abichandra melempar kepala Wisnu menggunakan sedotan minumannya. "Enak aja! Siapa yang terpesona! Dasar asbun!" tangkisnya, membela diri.

"Aw....si Abi kecewa! Hahaha!" Arifin menyambar.

Obrolan ringan ngalor ngidul itu pun terus berlanjut. Mereka tak mau bersegera pulang ke rumah. Ingin full menghabiskan hari di luaran. Mumpung Abichandra, Arifin dan Chandra membawa motor, jadi rencananya mereka akan meneruskan jalan-jalan seru mereka ke kawah Rengganis. Letaknya masih di seputaran kebun teh.

"Apa kita sekalian nginep aja? Dadakan sewa tenda," Arifin mengajukan usulan di tengah perjalanan mereka.

"Hayu. Tapi pulang dulu aja bawa baju sama perlengkapan. Ke rumah aku dulu gimana?" Abichandra ngasih ide tambahan. Rumahnya kan paling deket dari situ dibanding temen-temen lainnya.

"Santolo aja sekalian yuk!" Teuku ngajakin sumringah. Asik kayaknya menghabiskan malam mingguan di pantai indah itu sekalian liburan.

"Ok, deh. Ayo!"

"Heem, setuju!"

Semua menyambut semangat. Iring-iringan motor berbelok dan membelah jalanan menuju rumah Abichandra. 

Arifin menjalankan motor sendirian. Chandra membonceng Teuku sedangkan Abichandra membonceng Wisnu. Sesekali tawa dan keriuhan meledak melihat Arifin sengaja menjalankan motornya zigzag buat menghalangi teman-temannya. 

Semuanya membebaskan seluruh perasaan dan gejolak adrenalin yang mereka punya. Inilah masa muda yang akan segera mereka rindukan dan terkenang selamanya.

Abichandra tersenyum senang.

Pantai....we're comiiiiing!

***

PS: Halo semuanya, buat pembaca lama yang mungkin baca lagi chapter ini. Latar belakang tokoh ceritanya  sengaja dibikin sedikit berbeda. Tante Dina yang tadinya jadi pasangan mama Zarra, diganti jadi Om Haris. Berhubung kalo misal cerita ini berjodoh diterbitkan, rada riskan kalo tokohnya berbau LGBT. Makasih, ya. Happy reading dan selamat kangen-kangenan sama Abichandra CS.

My Heart Destiny (Sedang Proses Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang