Masih tersisa tiga minggu sebelum OSPEK kampusnya di mulai, Abichandra bertekad mengajari Satria dasar pengetahuan agama mulai dari nol. Malangnya Satria, cowok itu bacaan sholat saja tidak ingat.
"Terakhir aku sholat waktu kelas 6 SD ada kali, Bi," jawab Satria terus terang begitu Abichandra mengajaknya sholat berjamaah magrib di masjid sepulangnya dari rumah sakit.
Abichandra mengangguk memaklumi. "Ikutin aja gerakannya, Sat. nanti bacaannya kita nyusul belajar belakangan," tukasnya ngasih semangat.
"Nih, dipake dulu sarung dan koko nya. Kalau sholat, kita mesti bersih dan wangi," tambah Abichandra menyerahkan setelan beribadah yang diterima Satria ragu-ragu. Dia sudah lebih dulu mengenakan koko dan sarung. Selanjutnya Abichandra menyemprotkan parfum ke seputaran tubuhnya lalu menyisir rapi rambut pendeknya. Satria memperhatikan semuanya dengan raut wajah terkagum-kagum.
"Kok kayak mau ngapel ya, Bi," celetuk Satria polos, melepaskan kaos yang dipakainya melewati kepala untuk menggantinya dengan baju koko.
Di punggung dan dada nya terdapat beberapa luka sayatan yang memanjang sehingga mirip tato kulit abadi, begitupun di kedua lengannya. Lihat Satria berbaju koko gitu tak ayal bikin Abichandra terharu, persis preman insyaf tuh anak. Dan memang seperti itulah keadaannya. Allah sungguh maha besar. Sangat indah dan mudah bagiNya untuk membolak-balikkan hati hambaNya, termasuk yang tengil kayak Satria sekalipun.
"Iyalah, ngapelin Allah dulu kan kita," kata Abichandra kalem.
Aih, ngomongin apel-apelan jadi ingat Zarra. Dulu gadis itu pernah bilang di biodata taarufnya, katanya dia seneng wangi parfum yang dipakai Abichandra.
Ah, sudahlah lupain Zarra! Abichandra menggetok kepalanya.
Semua udah jadi masa lalu sekarang. Mendingan fokus menjalani apa yang ada di depan mata daripada terus larut dalam kegalauan duniawi yang melenakan.
Diikuti Satria, Abichandra pun berangkat ke masjid dengan azzam yang baru di dadanya. Bismillah, ini adalah awalan baru untuknya dan Satria.
***
Kecelakaan tragis antara truk container dan Terios hitam di jalan tol Cipularang yang menewaskan Rey muncul di surat kabar keesokan harinya. Zarra membaca keseluruhan beritanya dengan perasaan kaget yang mengemuka. Awalnya, dia sempat tidak sadar. Namun, Zarra akhirnya mengenali nomor polisi yang tertera di Terios Rey pada gambar.
"Rey? Ini beneran Rey yang kecelakaan? Innalillahi...." Zarra termangu-mangu tak percaya.
"Maa! Mama!"
Gadis itu kemudian bergegas berlarian ke dapur mencari mamanya. Di tangannya tergenggam surat kabar nasional yang barusan di bacanya.
"Kenapa Zarra?" mama melongokan kepala dari dapur, tertarik mendengar teriakan anak gadisnya.
Bingung bagaimana menjelaskan ceritanya, Zarra pun menyerahkan surat kabar ke tangan mama.
Rey... Meskipun di saat terakhir cowok itu berhasil mengacaukan hubungannya dengan Abi, tapi dia tak menyangka Rey akan pergi secepat ini untuk selamanya. Bagaimanapun, diluar keruwetan hubungan kakak-adik ngga jelasnya, Rey adalah seorang kakak yang luar biasa baik baginya. Yang tak pernah alpa menjaganya. Selalu perhatian dan memberinya perlindungan-perlindungan semaksimal mungkin.
Ya Allah, Rey...!
Setelah membaca berita dalam genggaman tangannya, mama Zarra tersentak dan memandangi Zarra lamat-lamat. Direngkuhnya si gadis yang mengisak sedih ke dalam pelukannya.
"Kita berdua harus maafin Rey, Zarra," kata mama ikut merasa pilu.
Mendadak Zarra teringat sesuatu. Beberapa hari kemarin sewaktu ia menelpon Abichandra, dia mendapat pesan whats up yang tak terhitung banyaknya dari Rey. Tapi belum pernah dia baca. Dia abaikan begitu saja.
Zarra melepaskan diri dari pelukan mama dan buru-buru mengeluarkan smartphone dalam saku gamisnya. Dibacanya pesan Rey yang jumlahnya ratusan satu persatu.
"Zarra...kamu dimana?"
"Zarra, maafin aku, tolong jangan pergi."
"Zarra, aku nggak bisa hidup tanpa maaf kamu. Tolong kabari aku."
"Zarra, dimanapun kamu berada, aku cuma pingin ngasih tahu kalau apa yang terjadi di malam lamaran itu ngga kseperti yang kamu kira."
"Kamu masih virgin, Zarra... Aku ngga pernah nyentuh kamu."
Mata Zarra melebar membacanya pesan satu itu. Batinnya terguncang. Apa...? Apa...? Rey...!
"Kakaaaak!" jerit Zarra memilukan. Ia menggelosor jatuh ke atas lantai, lututnya melemas, menyesali kesalah pahaman yang terjadi. Kenapa jadi begini....
Dua lelaki yang mencintainya telah pergi dari sisinya.
Rey tak akan pernah bisa kembali lagi ke dunia fana, Abichandra pun telah lepas dari genggaman. Zarra menangis sedih memikirkan kerumitan kisahnya yang berantakan. Hanya karena ia berpikiran pendek, terdorong rasa hati dan terburu-buru memutuskan pergi sebelum semuanya jelas.
Benar kata Mama, benar kata Abi, dia telah termakan asumsinya sendiri.
***
"Yang ini gimana bacanya sih, Bi?" tanya Satria kepo memerhatikan jalinan huruf yang nampak sangat njlimet di matanya. Dulu, dia tak pernah tuntas belajar mengaji di TPA, keburu males soalnya. Duduk bersila di atas sajadah di kamar Abichandra, Satria serius belajar."Yang mana?" tanya Abichandra mengikuti arah telunjuk Satria di lembaran Iqro yang sedang dipelajarinya. Dia menempatkan dirinya duduk di hadapan Satria.
"Oh, Itu huruf wau," jelasnya sabar.
Satria rajin banget mengikuti bimbingan Abichandra dan mengejar targetan pelajaran hariannya. Pertama menghapalkan bacaan sholat berikut artinya. Kedua, belajar baca iqro. Syukur alhamdulillah Abichandra adalah guru yang baik. Dirancangnya pembelajaran privat khusus untuk Satria menggunakan metode hapalan yang terus diulang-ulang. Kadangkala Abichandra sengaja merekam suaranya sendiri untuk membekali Satria kalau kebetulan dia harus ngampus mempersiapkan bahan-bahan OSPEKan yang akan digelar tak lama lagi.
Mama dan seluruh anggota keluarga Abichandra sangat senang menyambut kehadiran Satria yang mereka anggap membantu si bungsu untuk segera move on dari keterpurukan kisah cintanya.
"Alhamdulillah..." gumam mama bahagia ketika tak sengaja memergoki kedua remaja lelaki itu sedang belajar bareng lewat pintu kamar Abichandra yang dibiarkan terbuka.
Diam-diam, mama terharu melihat bagaimana cara Abichandra menyikapi perasaan patah hatinya. Meskipun dalam hati pasti masih tersisa rasa sedih, tapi dilawannya dengan rangkaian perbuatan positif. Dan mama sangat bangga karenanya.
"Itu baru anak Mama! Sangat dewasa!" bisik mama suatu hari pada ayah di meja makan setelah beres curhat tentang kegiatan yang dilakoni Abichandra dan Satria di lantai dua. Mereka berdua sedang menikmati hari menjelang magrib sambil ngemilin ketan goreng dan teh manis buatan mama.
"Alhamdulillah, Ayah ikut seneng, Ma," tukas ayah tersenyum.
"Tapi kalau si Abi mulai kuliah, Satria mau tinggal dimana? Masa bareng Mama di sini sementara anak-anak Mama pada di kosan," kata mama kebingungan.
"Gimana kalau Mama kenalin ke ustad Yahya di Al falah? Kan beliau punya pesantren tuh. Jadi Satria bisa lanjut belajar disana. Eh iya, kalau ngga salah kata ibunya, Sarah udah mulai ngajar di ibtidaiyyah Al Falah. Sarah itu temen sekelas Satria juga kan? Sama kayak Abi? Jadi udah saling kenal dong," kata ayah mengingat cerita Abichandra tempo hari.
"Bener juga kata Ayah. Nanti mama silaturahim ke ustad Yahya," ucap mama menyetujui.
"Duh, Sarah...sebenernya gadis itu cocok banget buat si Abi kalau dipikir lagi," celetuk mama tiba-tiba kepikiran hal satu itu.
"Hus! Belum genap dua bulan Zarra menghilang. Si Abi kayaknya nggak akan dulu mikirin kesana, Ma. Biarin dia fokus kuliah dulu atuh. Kasian, jangan dulu ngebahas cinta-cintaan," ayah menegur.
Mama menghela napasnya membenarkan kata-kata ayah. Lagipula, mama sendiri masih kehilangan Zarra banget. Gadis itu...Kenapa sih harus pergi begitu aja? Mama sedih. Si Abi apalagi...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Destiny (Sedang Proses Diterbitkan)
EspiritualA sequel of My Truly Destiny. Abichandra keheranan karena sohib-sohibnya berubah. Sudah kelas XII, bukannya tambah rajin belajar, Arifin CS yang notabene ex pengurus inti OSIS malah sering bolos sekolah. Dipandu rasa penasarannya, Abichandra pun tur...