Bab 18 : Dari Dasar Langit

1.5K 97 3
                                    

Februari Datang.

Abichandra memegangi punggungnya yang terasa ngilu. Bekas sabetan samurai di sepanjang belakang tubuhnya menyebabkannya tidak bisa duduk tegak terlalu lama, seperti digigiti ratusan semut rangrang yang iseng menggerayang. Pedih dan gatalnya bukan main.

"Bi, kamu udah beres ngerjainnya?" tanya bu Rucika, pengawas ruangan TO, mengamati Abichandra sembari mengitari 20 bangku siswa yang mulai tak bisa fokus menekuri soal-soal ujian. Sudah pada keburu pusing kayaknya

"Hey, Arifin, kerjain sendiri!" tegur bu Rucika lagi, seraya mencolek bahu Arifin yang ketahuan sempet memutar badan celingukan ke bangku belakangnya. Arifin langsung nyengir.

Mendapat pertanyaan itu, Abichandra mendongak memandangi guru BP. Wajah sabar bu Rucika nampak cemas. Sedari tadi beliau perhatikan Abichandra duduk gelisah melulu, mengernyitkan kening dan mengelus-elus punggungnya. Beliau sudah maphum apa yang dialami si ex KETOS sekarang pasti ada kaitannya dengan kejadian mencekam di Sinumbra beberapa pekan silam.

Abichandra pun tersenyum simpul dan mengangguk sopan, "Bentar lagi, Bu," kemudian diceknya lagi jawaban LJK nya satu persatu, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Kata ITB terus berputaran di kepalanya, berdenging setiap waktu. Sengaja ia ingat-ingat dan lafalkan, dirajutkan dengan tekad dan doa supaya merasuk ke alam bawah sadarnya. Setelah yakin, barulah ia kumpulkan soal dan LJK nya ke depan meja bu Rucika. Bismillah...

***
Hujan terus mengguyur bumi, membagi-bagikan rezeki pada alam yang memintanya secara merata. Abichandra dan Arifin tertahan hujan deras di luar ruangan, mencangklong tas masing-masing lantaran belum bisa pulang. Begitupun kawan-kawan lain yang tadinya berharap bisa merayakan berakhirnya pekan TO pertama dengan cara jajan cendol di mang Ujang atau mungkin kelayapan ke tempat lain dulu.

"Bi, coba sekali-kali kamu bilang gini sama Zarra, biar dia seneng. Ini hujan apa rindu, kok deras banget. Jadi inget kamu!" celetuk Arifin gokil.

Abichandra ngakak, noyor kepala Arifin. "Jijay!" katanya geli. Mereka memang ujian seruangan karena deret nama di absensinya kebetulan berdekatan.

"Ngomong-ngomong gimana taaruf kemaren? Curhat dong, Bi..." tanya Arifin gesit menghindari toyoran Abichandra. Sengaja minjem intonasi suara punya mamah Dedeh.

Tawa Abichandra mereda, tak terpancing banyolan Arifin. Dia terbungkam. 

 Lagian apa yang mau di certain? Taarufnya yang berantakan gara-gara si Rey?

"Eh panjang umur, yang diomongin nongol! Si Neng nya mau diajakin nge mie rebus dulu di Bi Cucun sambil nunggu reda, nggak, Bi?' Arifin menyikut lengan Abichandra, mengarahkan pandangannya ke ruangan yang letaknya di seberang sana.

Abichandra mengikuti arah pandangan Arifin. Melihat Sarah, Zarra, Wisnu Satria dan teman-temannya bermunculan dari luar ruangan ujian dan sama kayak mereka semua, tertahan pada nggak bisa dulu pulang, kecuali yang nekat pingin india-indiaan di tengah hujan deras. Dipandanginya si gadis oriental dari kejauhan. 

Cewek itu sedang ngobrol seru bareng Sarah, mungkin membahas soal-soal ujian barusan. Hari ini amat spesial terasa oleh Abichandra tapi bukan karena bulan kasih sayang. Tapi delapan belas tahun silam, Zarra ditakdirkan Alloh untuk berpetualang di muka bumi ini dan akhirnya bertemu dengannya, membuat hidupnya lebih berwarna-warni.

Hatur nuhun Alloh. Alhamdulillah udah menciptakan Zarra. Dongengku yang paling cantik! pikir Abichandra, ada senyuman yang bermain di bibirnya.

Abichandra tiba-tiba teringat satu hal. Dulu Zarra pernah sedih banget sewaktu cerita satu ini. "Mama bahkan nggak pernah inget hari aku di lahirkan, Bi."

My Heart Destiny (Sedang Proses Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang