"Mama, hati-hati di jalan," pesan Zarra. Dipeluknya lagi mama Abichandra untuk ke sekian kalinya malam ini, sangat enggan melepaskannya pulang. Koneksi yang tercipta diantara mereka berdua hampir menyaingi hubungan anak dan ibu kandung, bukannya calon menantu dan calon mertuanya.
Mama senyum-senyum, membelai kerudung Zarra penuh rasa sayang. "Iya, Sayang. Rasanya pingin banget ajak kamu pulang bareng ke rumah malam ini. Sayang masih harus nunggu sebulan lagi..."
"Gantian dong, Ma. Aku juga pingin pamitan sama adik ipar," protes Andatari di belakang mama.
"Calon adiik keless. Sampai nanti ya Zarra, bye...!" Saka mengoreksi, cengiran senang jelas terlihat di wajahnya. Dia melambaikan tangan pamitan pada Zarra lalu bergegas menuju mobil dimana ayah sudah menunggu. Beliau sedang menonton ajang pamit-pamitan di teras itu, dengan senyuman lebar terpampang di wajah.
Zarra dan mama saling melepaskan pelukan. Sebelum pergi menyusul Saka ke mobil, mama memberi Zarra kecupan tanda sayang di ubun-ubunnya.
"Jaga diri, Zarra. Insya Allah nanti mama main lagi ke rumah kamu," mama berjanji.
Zarra mengangguk gembira. Melambaikan tangannya pada Saka dan mama, kemudian beralih menyambut pelukan Andatari.
"Nggak apa-apa aku meluknya lama? Dobel soalnya. Aku sekalian ngewakilin Abi melukin kamu," bisik Andatari iseng, membuat wajah Zarra merona karenanya.
"Ah, Kakak," Zarra menegur. Kenapa dia bisa lupa kalau kakak sulung Abichandra itu selalu jago melotarkan ledekan?
Andatari ketawa. Dia melepaskan pelukannya dan mencubit pipi merah marun Zarra gemas sebelum masuk dan duduk di mobil di deretan kedua bareng mama.
Tinggal tersisa Abichandra yang belum pamitan. Cowok itu belum apa-apa sudah nervous duluan.
Beberapa saat lalu semua tamu sudah pulang. Sarah beserta ibunya ikut mobil bu Rucika, sedangkan sohib-sohibnya seperti Wisnu, Arifin, Riki, dan lain-lainnya ikut menebeng mobil pak Trisno, termasuk pak Endang. Kesimpulannya, mereka semua menitipkan doa restunya demi kelancaran niat suci Abi dan Zarra.
"Ehm...Zarra," Abichandra memulai kata-katanya, kikuk. Dipandanginya sepatu sandal Zarra yang bergerak-gerak gelisah kayak pemiliknya yang juga gugup.
Melihat ini, Abichandra jadi geli pingin ketawa. Dia pelan-pelan mengangkat wajah dan menatap calon istrinya lurus-lurus. Merekam cantiknya Zarra yang malu-malu membalas pandangannya. Senyuman manis tersungging di bibir cowok itu. Namun keburu kesalip sama perasaan gugupnya sendiri, Abichandra pun lekas menunduk kembali. Sebetulnya banyak banget yang ingin dia sampaikan tapi lidahnya seakan terkunci.
Akhirnya yang bisa dia bilang cuma ini, "Cepet masuk Zarra. Di luar sini dingin..."
"Oh, iya. Kamu juga, Bi, " balas Zarra canggung. Bingung mesti ngomong apa lagi.
Abichandra mengangguk-angguk, siap-siap memutar badannya akan pergi. Tapi di detik terakhir, di luar logikanya, cowok itu menolehkan kepala menatap Zarra. Tak tahu kenapa kok berat banget rasanya ninggalin calon istrinya saat ini.
Secercah penyesalan muncul dari dasar hati, kenapa tadi nggak langsung nikah aja, sih... Kan tempo hari mama Zarra sudah bilang kalau persyaratan terpenuhi, dia boleh menikahi Zarra kapapun dia mau.
Duh, kenapa nggak diambil aja kesempatannya? Abichandra terus menatapi Zarra beberapa lama. Belum juga pulang sudah merasa kangen banget. Ah...alamat galau selama sebulan!
Teguran Saka dari dalam mobil lah yang memutus kontak matanya, "Bi, buruan!"
Abichandra tersadar. "Sampai ketemu, Zarra...Insya Alloh, aku akan datang lagi jemput kamu. Assalamualaikum!"katanya bersungguh-sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Destiny (Sedang Proses Diterbitkan)
EspiritualA sequel of My Truly Destiny. Abichandra keheranan karena sohib-sohibnya berubah. Sudah kelas XII, bukannya tambah rajin belajar, Arifin CS yang notabene ex pengurus inti OSIS malah sering bolos sekolah. Dipandu rasa penasarannya, Abichandra pun tur...