Mama Zarra menunggu Rey membuka mulutnya dan memberikan penjelasan, tapi tak ada satu huruf pun yang keluar dari bibir cowok itu. Tangannya malah mengetatkan genggaman pada Zarra. Dibimbingnya gadis itu untuk berdiri bersamanya, tak peduli Zarra menggeliat ingin melepaskan diri dari belitan tangannya yang erat."Rey, ada apa sebenarnya?!" Om Haris membentak puteranya. Tak tahan lihat pemandangan yang berlangsung di depan mata, bikin darahnya menggelegak saja. Biarpun tak sedarah, status Rey dan Zarra sudah sah jadi kakak dan adik di depan hukum.
Rey menegakkan tubuh dengan berani. "Seperti yang kalian lihat. Aku dan Zarra bukan dan ngga akan pernah jadi kakak adik!" katanya mantap.
Mama Zarra memijit pelipisnya yang terasa pening, bingung mikirin kejadian ini. Tangan satunya memeluk lengan. "Dari kapan kejadiannya?"
"Tiga bulan setelah kalian dekat, aku dan Zarra juga begitu..."
"Dan sekarang, apa masih begitu?" tanya mama Zarra lagi menatap Rey lekat.
Kali ini Zarra memberanikan menjawab, membetot tangannya sekuat tenaga supaya lepas dari genggaman Rey. Matanya yang sipit menyala karena marah, memelototi Rey. "Lepasin aku, kak! Nggak, Ma. Kami nggak ada hubungan apa-apa!" tegasnya.
Lalu Zarra bergegas pergi dari situ. Tak mau lagi memberikan penjelasan apapun. Sudah jelas semuanya. Cukup. Pintu kamarnya yang menjeblak tertutup menjadi isyarat keras berakhirnya kegilaan ini.
Rey memandangi kepergian Zarra dengan perasaan berkecamuk yang meluluhlantakan perasaannya. Dia jengkel, marah, sedih, sekaligus didera patah hati yang bertambah-tambah.
"Brengsek!" umpatnya getir entah ada siapa. Apa ini akhiran kisahnya dengan Zarra? Sialan, sakit banget! Rasanya Rey ingin makan orang saking marahnya! Grrrgh! Tangannya mengepal dan memukul udara di depannya.
Tak tahu lagi gimana cara mengendalikan diri, Rey segera angkat kaki dari tempat itu meninggalkan mama Zarra dan papanya. Di starternya Terios Hitam di pelataran rumah lalu dia pun pergi sengebut-ngebutnya, ingin melarikan diri dari kenyataan.
***
Malam ini, Abichandra lagi pengen rehat sejenak dari rutinitasnya, mending quality time bareng keluarga dulu. Tapi dia dibuat heran melihat operasi bongkar sauh barang belanjaan dari kantong-kantong plastik yang di bawa mama & kakak perempuannya. Di lantai ruang keluarga, baju-baju, sepatu, tas dan bahkan kosmetik di gelar memenuhi karpet udah kayak buka lapak aja.
Tapi bentuk dan ukuran bajunya kok begitu? Kalau buat Andatari kayaknya kekecilan. Kalau buat mama, terlalu kemudaan dan kemodisan deh, warna nya cerah ceria. Jadi buat siapa ya?
"Buat siapa ini semua, Ma? Mau jualan?" tanya Abchandra polos, meraih salah satu gamis berwarna pink yang menarik minatnya lalu diamat-amati sedemikian rupa.
"Lucu nggak, Bi?' pancing Andatari, menahan senyumnya.
"Bagus...Buat kamu, Kak?" tanya Abichandra, memandangi kakaknya sepintas dari atas sofa sambil mengembalikan gamisnya ke lantai. Kembali acuh tak acuh.
"Kalau dipake Zarra, tambah lucu nggak? Hahaha, nggak usah dibayangin dari sekarang ketang, Bi! Gawat!" pancing Saka, ngakak. Ikutan nimbrung duduk di sofa bareng Abichandra setelah bawa setoples cemilan dari dapur.
Sebentar....Sebentar. ...
Barulah Abichandra paham. Dia melongo menyaksikan barang-barang yang bertebaran, men-scanning satu persatu lebih teliti.
Beberapa gamis resmi, piyama, sandal, sepatu, daleman, dan yang bikin dia salah fokus ada beberapa gaun tidur yang berbahan tipis juga ada di situ. Waduh!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Heart Destiny (Sedang Proses Diterbitkan)
SpirituellesA sequel of My Truly Destiny. Abichandra keheranan karena sohib-sohibnya berubah. Sudah kelas XII, bukannya tambah rajin belajar, Arifin CS yang notabene ex pengurus inti OSIS malah sering bolos sekolah. Dipandu rasa penasarannya, Abichandra pun tur...