Semuanya indah seperti mimpi. Tapi jika harus memilih, aku lebih menginginkan kembali ke dunia nyata daripada harus terlena dengan keindahan yang hanya sebatas mimpi.
•••••
Naya bergeming untuk seperkian detik. Selama beberapa detik itu ia sama sekali tidak bisa bernapas. Jangankan untuk berpikir tangannya dikecup oleh Arland, disentuh oleh cowok itu saja sudah akan membuat jantung Naya berhenti berdetak. Sama halnya ketika cowok itu pernah mendaratkan kecupan singkat di keningnya malam itu.
Sontak Naya menarik tangannya dalam genggaman jari-jari Arland. Ia harus segera bangun dari mimpi indahnya ini.
"Aku nggak ngerti maksud kamu," ucap Naya terbata. Ia perlu menormalkan kembali tenggorokannya setelah tadi ia sulit bernapas dalam beberapa detik.
Cowok itu terkekeh pelan. "Katanya pinter, tapi gitu aja masa nggak ngerti. Atau lo cuma pura-pura nggak ngerti?" Kedua alis Arland terangkat seolah sedang menggurau gadis di depannya.
"Hah?" Naya semakin gugup. Bukannya ia tidak mengerti tentang kalimat, 'gue emang belum bisa jatuh cinta sama lo, Nay. Tapi anehnya gue selalu berusaha keras buat bisa jatuh cinta sama lo', tetapi Naya tidak mengerti maksud kalimat itu. Atau lebih tepatnya, Naya tidak ingin mengartikan sendiri apa yang ia dengar dan pada akhirnya akan menjadi angan saja untuknya.
Oleh sebab itu, Naya lebih memilih untuk tidak mengerti seluruhnya.
"Yaudah, lupain aja yang gue bilang tadi." Arland tersenyum geli. Wajah Naya saat ini sangat polos dan benar-benar seperti gadis yang baru datang dari desa. Lugu dan tidak tahu apa-apa.
Naya mengangguk samar sebagai tanggapannya. Kemudian, Arland maju satu langkah, mendekat ke Naya. Menatap gadis itu dengan serius.
"Intinya, mulai sekarang, gue nggak akan deket sama cewek manapun, kecuali lo. Kalo. Kalimat ini, ngerti?" tanya Arland setelah berbicara setiap penggal kata dengan penuh penekanan agar Naya memahami ucapannya.
Naya meneguk salivanya dan tidak menjawab apakah dia harus berkata 'iya' atau 'tidak'. Dalam hatinya ia sangat mengerti maksud Arland kali ini. Namun, untuk apa Arland melakukan hal itu?
"Yaudah, kalo gitu aku pulang duluan, ya," kata Naya hendak mengalihkan pembicaraan karena dia sudah benar-benar dibuat mati kutu oleh cowok itu.
Naya berbalik hendak meninggalkan Arland di posisinya.
"Lo yakin mau pulang?"
Naya kembali menoleh ke belakang. "Eh?"
"Bukannya siang ini ada jadwal bimbingan sama Pak Robert?" cetus Arland sambil mengulum senyum. Cowok itu tahu kalau sekarang Naya tengah dilanda kegugupan yang besar.
Naya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lalu ia membuang wajahnya ke depan, berusaha menyembunyikan rasa malunya dari Arland. Detik berikutnya, Naya kembali menoleh ke belakang dengan ringisan kecil tampak di wajah mungilnya.
"Iya, maksud aku, aku mau bimbingan sama Pak Robert, hehe."
Arland gemas dengan sikap Naya yang seperti ini. Lantas ia mengacak puncak kepala Naya sambil tertawa kecil.
"Bimbingannya juga kan bareng gue. Kenapa harus pamit duluan. Bareng aja sih," kata Arland lalu menyambar jari-jari mungil itu untuk ia selipkan di antara jari-jari besarnya. Kemudian Arland menarik Naya untuk melangkah bersamanya sepanjang koridor menuju salah satu kelas yang di dalamnya sudah ada Pak Robert.
"Kegiatan olimpiade itu hanya memerlukan waktu kurang dari satu bulan lagi. Kalian berdua harus semakin sering berlatih soal-soal yang sudah bapak berikan kemarin. Juga, perlu mental yang cukup karena lawan kalian tidak sembarangan. Mereka murid-murid yang sering mengikuti olimpiade tingkat nasional," papar Pak Robert sebelum memulai bimbingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary untuk Arland [Completed]
Teen FictionNaya menyukai Arland sejak mereka kecil. Sayangnya mereka sempat berpisah karena sebuah insiden penculikan yang terjadi pada Arland. Ketika mereka dipertemukan lagi dalam sekolah SMA yang sama, Arland sama sekali tidak mengenal Naya seperti Naya ya...