📝Harian KeduapuluhSatu - Sebuah Keinginan

3.8K 248 56
                                    

Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang berbeda. Jika aku menginginkan untuk menjagamu, maka berada di dekatmu adalah sebuah kebutuhan untukku.

Arland Nugraha

•••••

Terpancar rona bahagia dari wajah Arland sepulang ia dari rumah Naya. Pasalnya tidak ada hal yang lucu atau moment spesial sekalipun yang Arland rasakan. Namun, janjinya pada Naya untuk selalu menjaga gadis itu, membuat Arland merasa geli dengan ucapannya sendiri. Bahkan, Arland tidak yakin sudah mengucapkan kalimat itu pada seseorang yang tidak ia suka.

Ingin melindungi Naya, adalah sebuah keinginan yang terjadi begitu saja. Sebelumnya Arland tidak pernah terpikir untuk mengatakan kalimat itu atau merencanakannya sekalipun. Hanya saja lidahnya sangat mulus ketika ia berucap kalimat itu, terlebih sambil menatap Naya sangat dalam.

Sampai tiba di rumahnya pun, Arland masih saja mengulum senyum diam-diam. Namun, langkahnya terhenti ketika sang papi berdiri di depannya. Bukan untuk menghalanginya, tetapi hanya sekadar ingin menyambut kedatangan putra tunggalnya tersebut.

"Kamu udah makan malam?" tanya Tomi.

"Belum."

"Yaudah, kamu bersih-bersih dulu. Habis itu kamu turun dan kita makan malam sama-sama."

Suasana di antara keduanya dingin. Selalu sama memang. Karena kedua orang ini terlalu kaku dan gengsi untuk bersikap lebih hangat satu sama lain.

"Arland nggak lapar. Papi makan duluan aja," ucap cowok itu datar.

"Papi tetap menunggu kamu di ruang makan." Tomi berbalik dan menuju ruang makan. Lalu Arland bergegas ke lantai dua, ke kamarnya tanpa mempedulikan ajakan papinya tersebut.

"Jangan lama-lama, Land. Papi sudah nggak sabar nyobain masakan Mbok Ijah yang aromanya udah harum sekali," ujar sang papi sambil berteriak. Sepertinya pria itu ingin menggoda sang anak yang ia sendiri tidak yakin apakah hal ini berpengaruh dan membuat Arland segera turun dari kamarnya.

Lebih dari lima belas menit Tomi menunggu di ruang makan. Pria itu benar-benar menunda makan malamnya hanya untuk menunggu sang anak. Aroma yang tadinya menyeruak hingga ke hidung, kini sudah nyaris tidak tercium karena bisa dipastikan kalau sajian di meja sudah dingin.

Pria itu menoleh ke belakang. Menilik anak tangga hingga terdengar langkah seseorang yang turun dari lantai dua. Segera Tomi membuang wajahnya kembali ke posisi semula.

"Papi yakin kamu pasti turun juga," ucap Tomi menyambut kedatangan putranya di meja makan.

Arland tidak menyahut sepatah katapun. Ia lebih tertarik untuk segera membalik piring yang tersedia di depannya, lalu mengambil dua centong nasi dan beberapa lauk yang ada di meja.

Dengan sepasang alis terangkat diikuti sudut bibir yang tertarik ke bawah, Tomi pun mulai menyiapkan santapannya sendiri. Kini hanya suara dentingan sendok garpu dengan piring yang mendominasi di ruang makan ini.

"Kata tante kamu, bulan depan kamu akan mewakili sekolah dalam olimpiade matematika tahun ini?" tanya Tomi dengan tujuan ingin memecah keheningan saat ini.

"Hm," jawab Arland singkat. Bahkan, pandangannya sama sekali tidak berpindah dari piring miliknya.

Tomi hanya manggut-manggut sambil berharap dalam hati kalau putranya mau menoleh kepadanya, sekalipun hanya sesaat.

"Papi punya klien baru. Dia wanita. Secara terang-terangan dia menyatakan ketertarikannya sama papi."

Cerita klasik itu akhirnya membuat Arland menoleh ke sang ayah. Sesaat ia menghentikan aktivitas makannya.

Diary untuk Arland [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang