📝Harian KeduapuluhTujuh - Malam yang Tertunda

3.3K 221 16
                                    

Jika aku hanya bisa mencintaimu tanpa ada seorang pun yang bisa menggantikan adalah sebuah kutukan, maka aku akan tetap memilih jalan hidup seperti itu ketika Tuhan melahirkan aku kembali.

Arland Nugraha

•••••

Setelah bergulat dengan pikirannya dalam waktu seperkian jam, akhirnya Arland memutuskan untuk mengetuk pintu di depannya ini. Sudah lima menit ia hanya berdiri sambil melanjutkan pemikirannya seperti di kamar tadi.

Selesai menghela napas panjang, pintu itu akhirnya terbuka. Pria tersebut tersenyum karena jarang sekali anak tunggalnya ini mau lebih dulu menemuinya. Bisa dibilang hal yang langka dalam beberapa tahun ini.

"Ada apa, Land?" tanya Tomi tampak sumringah.

"Ada yang mau Arland omongin sama papi. Arland tunggu di ruang tv," ujar cowok dengan setelan boxer dan kaus oblong hitam itu dengan datar. Lantas sang papi mengangguk dan mengikuti dari belakang anak laki-lakinya yang sudah lebih dulu menuju ruang tv.

Sunyi bercampur sedikit ketegangan yang mengawali suasana ruangan ini ketika dua laki-laki itu duduk berhadapan dengan tatapan berbeda. Kalau Tomi tampak senang karena sang anak yang memintanya lebih dulu, akan tetapi Arland justru tampak seperti tidak ingin melanjutkan keinginannya untuk berbicara.

"Sekarang kamu mau ngomong apa sama papi?" Pria itu yang akhirnya memecah keheningan ini.

Arland belum memulai dengan sepatah katapun untuk menjawab.

"Soal sekolah kamu? Atau kamu mau beli mobil baru lagi?" Tidak, tidak. Selama ini Arland tidak pernah meminta. Namun, sang papi yang terlalu menyayanginya sehingga rajin membelikan sang anak mobil keluaran baru setiap beberapa bulan sekali.

Arland menggeleng dengan bibir terkatup.

"Lalu? Soal apa?" Kedua alis Tomi tertarik ke atas. Karena saking senangnya ia tadi, sebagai Ayah, Tomi tidak sabar mendengar obrolan dari sang anak.

"Arland sakit."

Bibir Tomi terkatup ke dalam seraya meneguk salivanya. "Sakit?" Nada suaranya sedikit meninggi dari sebelumnya.

"Tumor otak."

Mata Tomi mendelik tidak percaya. Di samping itu salah satu tangannya juga terkepal kuat karena sangat terkejutnya Tomi dengan berita besar ini.

"Tumor otak? Kenapa bisa?" ulang pria itu karena masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Masih stadium awal."

Tomi memejamkan matanya untuk sesaat. Wajahnya tertunduk dengan kedua tangan terkatup yang menyanggah keningnya.

"Seharusnya papi lebih perhatian ke kamu. Papi sudah menjadi seorang ayah yang gagal," kata Tomi dengan parau. Bahkan, ia tidak mampu menatap Arland yang duduk di depannya.

"Gagal enggaknya seorang ayah bukan karena anaknya sakit atau enggak. Kata dokter ini masih bisa sembuh." Datar memang nada bicara Arland, tetapi tetap saja dia tidak ingin menyalahkan siapapun karena penyakitnya ini.

Pandangan Tomi terangkat berubah menjadi sedikit lega dengan pernyataan Arland.

"Berapapun biaya yang dikeluarkan akan papi bayar asal penyakit kamu bisa hilang. Papi akan berusaha untuk meluangkan banyak waktu untuk kamu. Papi tidak ingin lalai lagi," ucap Tomi memindah duduknya di sebelah sang anak. Ingin sekali Tomi menyentuh Arland walaupun hanya sebentar sekadar untuk memberi kehangatan seorang ayah. Namun, Tomi tidak ingin membuat Arland menjadi risi akan pergerakan itu.

Diary untuk Arland [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang