Mudah bagiku jika harus melihatmu dari kejauhan. Tapi sangat sulit ketika aku tidak bisa menemukanmu dalam pandanganku.
•••••
Bertepatan bunyinya bel istirahat berdering nyaring, Riani langsung melesat keluar kelas. Sudah lebih dari sepuluh menit ia menahan 'keinginannya' untuk segera dituntaskan. Menanggapinya, Naya hanya tersenyum simpul.
Hari ini Arland tidak masuk sekolah. Tidak biasanya karena jarang sekali cowok yang mempunyai sejuta pesona itu bolos atau izin sekolah. Meski sering menyakiti hati para gadis, Arland adalah cowok yang selalu mengutamakan prestasi di sekolah atau semacam menjaga nama baiknya di sekolah. Karena hal itu bisa membuat papinya bangga sekalipun sang papi tidak pernah menyinggung Arland soal prestasinya di sekolah.
Tanpa menunggu Riani selesai dengan urusannya, Naya bergegas menuju perpustakaan. Ia hendak menyelesaikan tugas-tugas dari Pak Robert perihal contoh soal untuk olimpiade matematika kurang dari dua bulan lagi.
Sampai di perpustakaan, Naya mencari tempat di ujung sudut perpustakaan yang dekat dengan jendela sisi luar. Naya mencari tempat yang sepi agar otaknya bisa terfokus ke soal-soal itu. Atau lebih tepatnya agar perasaannya bisa tenang setelah semalaman suntuk ia terus dirundung kegelisahan hebat.
Alasannya sudah pasti. Bukan tebakan lagi karena kejadian sore itulah yang membuat Naya tak lepas dari rasa kalut. Kemarahan seorang Arland yang terus menganggu tidurnya tadi malam.
Satu soal Naya memulai. Baru ia menulis beberapa angka di catatan kecilnya itu, pikirannya buyar. Sesaat Naya berhenti, lalu mencoba melanjutkan pekerjannya lagi, dan terulang kembali. Naya kehilangan fokusnya yang diterjang ombak besar dalam kepalanya.
Kedua tangannya menutupi seluruh wajah mungil itu. Naya frustasi tidak bisa menyingkirkan masalah pribadinya untuk mengerjakan soal-soal yang menjadi penyambung hidupnya di sekolah ini. Karena kalau Naya terus begini, beasiswanya akan terancam.
Ya Tuhan.
Naya semakin menekan wajahnya dengan kedua tangan yang masih setia hinggap di sana. Rasanya ia ingin menangis saja dengan situasi ini. Mungkinkah alasan Arland tidak masuk sekolah hari ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin?
Naya terus bergulat dengan pikirannya.
"Udah gue duga pasti lo di sini," ucap Riani yang sudah duduk di depan Naya. Otomatis membuat Naya menjauhkan tangannya dari wajah dan menatap Riani datar.
"Kantin, yuk," ajak Riani.
"Aku nggak pengen makan apa-apa, Ri. Kamu aja yang ke kantin," balas Naya sangat tidak bersemangat.
Riani menyandarkan punggungnya di sandaran bangku. Melipat kedua tangan di atas dadanya dan menatap Naya dengan bibir yang mengerucut ke samping.
"Lo kenapa sih, Nay? Bentar seneng bentar sedih. Gara-gara Arland lagi? Kenapa emangnya? Dia udah ngapain lo lagi? Pura-pura nggak ngenalin lo kayak kemaren itu?" tanyanya beruntun lantas menegakkan kembali duduknya dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Untung saja mereka berada cukup jauh dari orang-orang yang sedang membaca. Termasuk penjaga perpustakaan yang akan marah jika mendengar obrolan mereka yang bisa mengganggu para siswa di sini.
"Arland marah sama aku, Ri. Kemarin ...," ucap Naya menggantung. Ia tidak tahu harus cerita semuanya ke Riani atau tidak.
"Marah kenapa?" Satu alis Riani tertarik.
"Dia nggak suka kalo aku khawatir sama dia."
"Yaudah, lo tinggal nggak usah khawatir lagi aja sama dia. Gampang kan? Lagian apa sih yang perlu lo khawatirin dari cowok kayak dia?" Riani berusaha agar suaranya tidak meninggi karena pembahasan yang selalu ia tidak inginkan. Selalu Arland.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary untuk Arland [Completed]
Teen FictionNaya menyukai Arland sejak mereka kecil. Sayangnya mereka sempat berpisah karena sebuah insiden penculikan yang terjadi pada Arland. Ketika mereka dipertemukan lagi dalam sekolah SMA yang sama, Arland sama sekali tidak mengenal Naya seperti Naya ya...