📝Harian Keduapuluh - Kekhawatiran yang Besar

3.7K 293 35
                                    

Aku memang tidak mencintaimu, atau mungkin belum. Namun, entah kenapa di detik kamu menghilang, seluruh organ tubuhku seperti mendidih di atas bara api besar sampai aku tidak tahu bagaimana mendinginkannya.

Arland Nugraha

•••••

Arland tidak sadar dengan emosinya yang sudah meninggi. Kegeramannya karena tidak bisa menemukan Naya dimanapun, membuat Arland ingin sekali meratakan gedung sekolah ini dengan puluhan buldozer besar. Alam sadarnya pun tidak yakin kalau rasa cemas kian menggerogoti perasaannya.

Setelah semua kelas dan semua tempat didatangi, kini Arland berakhir di depan ruang komputer. Mulanya ia mengintip melalui celah pada jendela yang sedikit terbuka. Tidak puas dengan itu, akhirnya Arland mendobrak pintu ruang komputer yang terkunci dengan sekali tendangan kuatnya.

Dengan napas yang masih tersengal, Riani mengikuti Arland dan berakhir di tempat yang sama. Riani juga tidak kalah cemasnya dari cowok itu.

"Lo kemana sih, Nay," gumam Riani berdiri di depan pintu ruang komputer. Sedangkan Arland masih mencari di dalam ruangan itu.

"Lo udah coba telpon Naya?" tanya Arland sudah selesai pencariannya di dalam.

"Hapenya Naya dipegang sama adeknya," jawab Riani dengan pandangan yang masih beredar kesana-kemari.

Arland kesal. Kenapa jaman sekarang masih ada anak SMA yang tidak mempunyai ponsel. Sepertinya Arland harus secepatnya ke toko ponsel untuk membeli satu dan diberikan pada Naya.

"Eh, tapi katanya tadi sih, dia udah pegang hape. Coba bentar gue telpon dulu," kata Riani yang baru mengingat obrolannya dengan Naya tadi pagi. Perihal Aini yang memberikan kembali ponselnya.

"Yaudah, telpon buruan," suruh Arland tidak sabar.

Sementara Riani tengah menghubungi nomor ponsel Naya, Arlang tetap bergerak mencari Naya ke belakang gudang sekolah. Letak ruang komputer berada tidak jauh dari gudang itu.

Masih sama. Arland tidak bisa menemukan Naya di belakang gudang. Namun, ketika ia hendak kembali ke posisi Riani, ada suara terdengar samar dari arah dalam gudang itu.

"Nggak diangkat!" pekik Riani mencoba memberi laporan ke Arland yang masih berjalan menghampirinya.

"Coba telpon lagi! Gue denger sesuatu di dalam gudang," suruh Arland setengah berteriak.

Riani pun kembali menghubungi ponsel Naya. Bersamaan dengan itu, Arland mendengar lagi suara samar dari dalam gudang. Langsung saja cowok itu mendekati pintu gudang yang terkunci. Mendekatkan telinganya di pintu.

Langkah Riani bergerak ke posisi Arland. Riani masih terus menghubugi nomor yang sama. Sampai akhirnya kaki Arlang kembali mendobrak pintu gudang hingga terbuka.

"Ya, ampun, Nay!" pekik Riani sejadinya ketika melihat Naya yang tersungkur di lantai dengan kedua tangan terikat di belakang. Bahkan, mulut Naya juga didekap oleh sebuah kain panjang.

Kepanikan semakin menjadi ketika mata Naya terpejam. Arland tidak berkomentar apapun, tetapi ia langsung mengangkat tubuh Naya dengan satu tangan terselip di bawah lutut, lalu satunya lagi di belakang tengkuk gadis itu.

"Bawa ke klinik!" seru Riani sangat panik. Ia menggiring Arland untuk mengikutinya menuju klinik sekolah.

Terkunci dan tidak siapapun ketika mereka sudah sampai di depan klinik yang kebetulan masih berada di lantai yang sama dengan gudang.

Diary untuk Arland [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang