Tidak ada yang bisa lebih membuat perasaanku seperti terhimpit batu besar daripada amarahmu. Dan ketika kamu mulai tersenyum, seketika batu itu hancur lebur melegakan perasaanku seperti sedia kala.
•••••
Kalau saja tidak ada Pak Joko yang baru saja selesai membersihkan salah satu kelas di dekat kejadian Arland pingsan tadi, Naya tidak akan bisa membawa Arland ke klinik sekolah. Dan kalau saja Naya dan Pak Joko telat sepuluh detik membawa Arland ke klinik, pasti Bu Eka selaku penjaga klinik itu sudah pulang dan mengunci klinik.
Untung saja kekalauan itu tidak terjadi. Maka berakhirlah Naya di sini, di klinik sekolah. Sudah sepuluh menit Arland belum sadar dari pingsannya setelah diperiksa oleh Bu Eka tadi. Naya terus berdiri di samping Arland yang terbaring di bangkar.
Perasaan Naya kini sedang dipenuhi kecemasan yang sedaritadi hinggap sejak pingsannya cowok itu. Dari dulu, Naya tidak pernah melihat tubuh Arland lemah seperti ini. Karena yang Naya tahu, Arland adalah pahlawan dan pangerannya. Di mata Naya, Arland adalah laki-laki yang kuat.
Dalam kecemasannya itu, tanpa sadar tangan Naya terangkat hendak menggapai wajah Arland. Entah keberanian yang datang darimana, Naya menempelkan telapak tangannya di kening Arland. Naya sendiri tidak menyangka kalau dirinya mampu melakukan pergerakan ini.
Hampir saja jantung Naya berhenti berdetak. Tangannya yang masih menempel di kening cowok itu di dekap begitu saja oleh si pemilik kening. Naya ingin menarik tangannya, tapi ditahan oleh Arland yang sudah sadarkan diri.
"Udah berapa jam gue di sini?" tanya Arland masih menahan telapak tangan Naya.
"Sepuluh menit," jawab Naya cepat mencoba melepaskan telapak tangannya dari genggaman cowok itu.
"Gimana caranya gue sampe sini?"
"Pak Joko. Aku sama Pak Joko yang bawa kamu ke sini." Perlahan Arland melepas genggamannya pada telapak tangan gadis itu.
Akhirnya. Naya mendesah lega. Hampir saja ia tidak bisa bernapas. Bukan karena cengkraman Arland terlalu kuat, melainkan sentuhan cowok itu yang membuat kerongkongannya tersendat.
Arland bangkit dan mengambil posisi duduk di tepi dengan kedua kaki yang menggelantung di sana. Ia tampak sedang menggelengkan kepalanya lantaran mencoba menghilangkan sisa-sisa kepeningannya tadi.
"Makasih ya," kata Arland dengan nada yang berbeda seperti sebelumnya ia berbicara ketus pada Naya.
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Naya sedikit ragu. Takut kalau-kalau cowok itu masih menyimpan amarahnya.
"Nggak usah dibahas. Lupain aja," balas Arland datar lantas loncat dari bangkar.
"Kamu udah gapapa?"
"Gapapa. Gue cuma kecapekan," jawab Arland seadanya. Kemudian cowok itu melenggang begitu saja meninggalkan Naya di posisinya.
Setelah Arland menghilang di balik pintu, tidak lama ia kembali lagi ke dalam klinik. Menghampiri Naya yang masih setia di posisinya.
"Lo nggak mau pulang?"
"Mau," sahut Naya sambil mengangguk polos.
"Yaudah pulang. Ngapain masih di sini?" Entah sadar atau tidak, Arland menarik tangan Naya begitu saja. Arland berjalan keluar dari klinik sambil menggandeng gadis itu.
Di tengah-tengah koridor, seperti ada sesuatu yang menyadarkan Arland sehingga ia menghentikan langkahnya. Cowok itu melihat ke belakang dan menemukan tangannya masih menggandeng gadis itu. Arland melepas genggaman tangannya pada Naya dengan kikuk, lalu melanjutkan kembali langkahnya. Arland di depan dan Naya berjalan di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary untuk Arland [Completed]
Teen FictionNaya menyukai Arland sejak mereka kecil. Sayangnya mereka sempat berpisah karena sebuah insiden penculikan yang terjadi pada Arland. Ketika mereka dipertemukan lagi dalam sekolah SMA yang sama, Arland sama sekali tidak mengenal Naya seperti Naya ya...