17

158 33 33
                                    

Pantai selalu bisa mengatasi perasaan Christian yang sedang tidak terkontrol. Walau hanya mengatasinya sementara, tetapi suara deburan ombak bisa membuatnya tenang untuk memikirkan masalah-masalah yang ia hadapi. Terkadang, ombak-ombak ini juga bisa membalikkan mood-nya yang buruk. Entahlah, mungkin memang itulah naluri seseorang yang hidup di daerah perairan sepertinya. Suasana pantai seperti ini mampu me-refresh otaknya.

Contohnya seperti saat ini, ia sedang bingung memikirkan keputusan apa yang harus ia ambil atas tawaran presiden umum kemarin. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu, yang selama ini menjadi impian Ayahnya untuk menjadikan Christian bagian dari pemerintahan sepertinya. Sulit sekali duduk di kursi pemerintahan, karena mereka yang ingin mendaftar harus meraih nilai cumlaude, punya banyak pengalaman, serta kuantitas inteligensi yang tinggi. Dan sekarang, ketika Christian diberi kesempatan itu cuma-cuma dan tanpa tes lain, ia tidak tahu harus menerimanya atau tidak.

Ia terikat dengan Al-Ahgaff, yang tidak memperbolehkan anggotanya berhubungan dengan dunia pemerintahan. Itulah yang membuatnya bingung, karena Christian sudah nyaman menjadi salah satu orang yang dipercayai Al-Ahgaff dalam kelompok tak bernama miliknya. Ia tidak mungkin menjadi musuh dalam selimut yang mengkhianati pemimpin kelompoknya dengan bergabung dalam pemerintahan. Al-Ahgaff sudah banyak membantu kehidupannya.

Tapi, bukankah menyenangkan orang tua satu-satunya adalah hal yang lebih mulia dibandingkan mentaati pemimpinnya?

"Arrgghhhh!!"

Christian memukul pasir-pasir yang ada di sekitarnya. Jika sudah dihadapkan pada pilihan yang sulit, ia tidak bisa. Pasti ada konsekuensi yang ia dapat jika menolak salah satu pilihan itu. Christian belum siap menghadapi situasi runyam seperti yang ia bayangkan.

Jika saja ini masalah uang, Christian yakin akan selesai dalam waktu sepuluh detik. Hanya perlu menunjukkan buku rekening yang ia sembunyikan pada ayahnya, maka selesai. Ayahnya bisa membeli apa pun yang ia mau, termasuk jet pribadi.

Namun, ini masalah lain. Ini semua tentang keinginan ayahnya yang memimpikan Christian terjun di dunia politik. Ayahnya berprinsip, bekerja di pemerintahan dengan posisi yang lebih darinya atau tidak usah bekerja apa pun dan hanya perlu menunggu jabatannya itu digantikan oleh Christian nanti. Dari sanalah awal mula ia bergabung dengan kelompok tak bernama, selagi Christian terus menunggu waktu jabatan ayahnya selesai-karena ia selalu gagal dalam setiap tes, Christian lebih memilih option kedua karena ia gagal di nilai akhir kuliahnya serta kuantitas intelegensinya yang selalu kalah dari para pesaingnya saat tes—dan ia yang akan melanjutkan posisi ayahnya nanti.

"Kak, kau kenapa?"

Mata Christian yang sebelumnya menatap kosong ke arah depan, mendadak beralih ke arah suara yang berasal dari sampingnya. Ia terkejut, karena suara itu adalah suara dari gadis yang sangat ia kenali. Yang beberapa hari ini tidak pernah muncul di hadapannya karena kejadian itu. Dan sekarang, dia tiba-tiba muncul, dengan embel-embel 'Kak' pula.

"Kinkan?"

Dia tersenyum membalas raut wajah terkejut Christian. Sambil memegang kameranya, Kinkan ikut duduk di sebelah Christian. Menatap ke arah limpahan air yang terbentang luas, tersenyum miris tanpa bisa Christian lihat, lalu menatap kedua mata pria itu yang kini menatapnya bingung.

"Kenapa kau melamun?"

Helaan napas berat berhasil Christian lakukan. Ia tidak tahu ada apa dengan adik dari Yanze ini, tetapi rasanya terlalu aneh jika Kinkan tersenyum seperti itu setelah beberapa hari lalu menangis melihatnya dengan Lusi. Seharusnya ia yang menemuinya terlebih dahulu, meminta maaf, dan Kinkan harus memukulnya untuk membalas apa yang ia perbuat. Bukan seperti ini. Christian jadi merasa seperti seorang pengecut yang bisanya hanya membuat gadis-gadis menangis.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang