2

354 48 22
                                    

Jika kesedihan dibagi menjadi beberapa tingkatan, mungkin yang aku alami saat ini adalah tingkatan tertingginya. Karena menurut teman-temanku semasa sekolah dulu, jenis kesedihan yang tidak mengeluarkan air mata adalah kesedihan yang mendalam. Orang dengan jenis kesedihan seperti itu biasanya membiarkan rasa sedih terus tertanam di dalam hatinya, walaupun ia tidak menyampaikannya lewat air mata. Ibarat satu sel, rasa sedih terus membelah hingga memenuhi rongga hatinya, tanpa orang tahu sudah berapa banyak sel itu membelah. Dan aku, sampai saat ini, rasa sedih itu masih terus berkembang. Menunggu obat yang dapat mematikan sel-sel yang kian membeludak.

Banyak cara untuk menghilangkan rasa sedih yang tidak diketahui oleh orang-orang itu. Aku memilih bergabung bersama kelompok Kamvoor, orang-orang yang addicted pada peperangan yang hidupnya berpindah-pindah tempat. Tujuan mereka adalah harta dan senjata, terutama pada kepuasan dan kesenangan mereka yang jauh lebih mendominasi. Mereka hidup tanpa belas kasih, tetapi saling mengasihi. Mereka pandai berperang, tetapi saling melindungi. Sebuah keberuntungan bisa hidup di antara mereka.

Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu mereka beberapa tahun lalu. Saat itu, aku berpamitan pada Peter untuk pergi ke sebuah tempat di Pusat I yang jarang dilalui oleh orang-orang. Semenjak dilakukan pembangunan kembali pada daerah Pusat I yang terbengkalai, daerah inilah yang tidak diminati oleh masyarakat yang sudah kembali ke Pusat I. Dulunya, tempat ini adalah taman dan satu-satunya daerah hijau di tengah-tengah kota selain hutan dan tebing tempat persembunyianku dulu. Namun dikarenakan efek radiasi Destroyer, tanaman-tanaman di sekitarnya mati. Taman itu tidak menarik lagi.

Dugaanku yang pada awalnya mengira bahwa taman itu tidak ada orang ternyata salah. Saat aku menginjakkan kaki di taman, di balik pohon beringin yang daunnya telah layu, sayup-sayup aku mendengar suara tawa beberapa orang. Mereka seperti membicarakan sesuatu yang menyenangkan hingga tertawa seperti itu. Aku yang penasaran dengan pemilik suara itu pun berjalan ke arah pohon dan melihat apa yang sedang mereka lakukan.

Sekelompok pria dengan pakaian serba hitam tengah duduk di bawah pohon sambil memasukkan beberapa peluru ke dalam sebuah tas. Mereka terlihat seperti sedang serius membicarakan sesuatu dan ketika menyadari keberadaanku, percakapan itu terhenti dan hampir semuanya menatapku tajam. Beberapa orang dari mereka menodongkan pistol dan berhasil membuatku pucat pasi. Aku hanya bisa mengangkat tanganku ke udara dan pasrah dengan apa yang akan ia lakukan padaku.

"Siapa kau?" nada tajamnya menusuk telingaku saat itu. Sebisa mungkin aku menyembunyikan rasa takutku dan terlihat biasa saja pada mereka, tetapi sepertinya tidak berhasil. Mereka berjalan mengendap ke arahku dengan pistol yang tetap siap menembus jantung dan kepalaku.

"Aku Lusierce," mereka mengerutkan dahi dan menurunkan pistol yang digenggamnya. Aku menghembuskan napas lega, setidaknya benda itu tidak mengarah ke arahku lagi. Tapi, mengapa saat mendengar namaku mereka menurunkan senjatanya? Apa mereka mengenalku?

"Kau anak Peter? Presiden umum dunia saat ini?"

Aku menggeleng. "Aku bukan anaknya. Aku hanya tinggal bersamanya dan menjadi keluarganya. Lalu siapa kalian? Mengapa kalian mengenalku?"

Jeremy-yang saat itu aku belum mengenalnya- berjalan satu langkah dan berhasil berdiri tepat di hadapanku. Mata birunya menatapku tajam, dahinya berkerut menunjukkan bekas-bekas luka yang ia dapat seolah-olah memberi tahu bahwa mereka adalah orang yang berbahaya.

"Kami adalah Kamvoor. Salah satu kelompok perang dunia terhebat yang menduduki peringkat kedua setelah kelompok tak bernama. Dan aku adalah ketuanya, namaku Jeremy."

Dari sorot matanya aku mengerti bagaimana bahayanya mereka. Walaupun aku sedikit gentar, tetapi ada sesuatu dalam diriku yang memberanikan diri untuk menatap mereka satu per satu.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang