24

145 29 45
                                    

Sewaktu aku kecil, ayah pernah bilang padaku kalau hidup yang aku jalani ini bukanlah kehidupan yang sebenarnya. Sambil memegang buku cerita dongeng yang ayahku berikan saat umurku tepat lima tahun, aku menatapnya polos—tidak berkedip, dengan mulut sedikit terbuka, memikirkan kata-kata ayahku yang waktu itu tidak aku mengerti— dan mengangguk saja karena aku pikir itu hanyalah bagian dari naskah buku cerita yang aku pegang.

Hingga akhirnya aku menduduki bangku sekolah menengah, aku kembali memikirkan ucapan ayahku itu. Memangnya, apa itu kehidupan sebenarnya? Memangnya apa yang aku jalani ini bukan kehidupan, atau seperti mimpi? Lalu bagaimana caranya aku benar-benar ada di kehidupan yang sebenarnya?

Sekarang, pertanyaan-pertanyaan yang aku pikirkan itu akhirnya terjawab saat aku merenung di kamarku semalam suntuk. Kedewasaan. Itulah kunci menuju kehidupan sebenarnya yang ayahku ucapkan ketika dulu aku hanya mengenal rasa bahagia. Dan aku menyesal telah mencari tahu apa arti kehidupan sebenarnya itu. Jika bisa, aku ingin kembali ke masa-masa di mana aku tidak menjadi orang dewasa. Di mana aku tidak dalam kehidupan sebenarnya. Aku tidak dalam masa-masa terpuruk lalu air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa aku tahan.

Tetapi, bukankah waktu harus terus berjalan dan tidak akan pernah bisa kembali? Sekali pun masalah-masalah terus menghantuiku setiap saat seperti masalahku dengan Galvecti, dengan ayahku, dengan dunia, dengan Kamvoor, hingga saat ini dengan Fathir, semua adalah bagian dari kehidupan sebenarnya.

Knock ... knock ... knock

Lamunanku terhenti saat suara ketukan pintu itu terdengar nyaring seisi kamarku. Aku melihat ke arah jam dinding, dan aku yakin ada hal yang penting sampai-sampai orang di luar sana harus mengetuk pintu pada pukul sebelas malam. Dengan enggan, aku beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu kamarku yang semakin lama membuat telingaku semakin sakit.

"Ya, siap—"

"Aku dengar, ada gadis pemurung yang tidak makan selama hampir seharian."

Mataku jelas tidak dapat membohongi apa yang aku rasakan saat ini. Terkejut. Aku tidak menyangka kalau Christianlah yang datang malam-malam mengetuk pintu kamarku ini. Aku kira yang akan datang adalah pelayan-pelayan yang sama seperti sebelumnya, atau bahkan Alexis dan Peter. Tetapi dugaan itu salah.

"Jadi, apa balkon kamarmu bisa aku pakai untuk minum teh?" tanyanya, aku hanya bisa diam dan mengangguk untuk mempersilakan pria itu masuk.

Christian dengan gayanya yang terlewat santai itu langsung berjalan melewati kamarku, hingga ia akhirnya duduk di kursi yang sengaja aku hadapkan langsung pada taman di rumahku ini.

Aku ikut duduk di kursi yang berada di sebelahnya, sambil memerhatikan tatapannya yang kini memandang lurus ke depan. Dia menatap kudaku yang sedang terlelap di tengah-tengah taman, lalu ketika ia menyadari aku memerhatikannya, Christian menoleh.

"Kau memelihara seekor kuda?"

"Ya. Kenapa?"

"Tidak," balasnya. "Itu artinya kau bisa berkuda?"

"Bisa, sedikit," ucapku.

"Dan kau tidak memberinya kandang?"

"Tidak," aku tersenyum tipis pada Christian, "Dia tidak akan hilang. Kuda itu tahu ke mana ia harus pulang."

"Baiklah."

Christian meminum teh yang sedari tadi ia bawa. Apa yang sedang ia lakukan ini membuat aku bingung dan bertanya-tanya, apa yang sedang Christian lakukan di rumahku malam-malam begini? Ia hanya ingin menumpang minum teh di balkonku?

"Peter yang menyuruhku ke sini. Aku dengar, kau tidak mau makan selama seharian ini."

"Aku tidak menyadari itu."

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang