10 (versi baru)

193 38 18
                                    

Tanganku memegang setangkai mawar hitam dan menaruhnya di atas makam Jeremy. Anggota yang lain, bahkan Greg dan Luna yang ikut menghadiri pemakaman Jeremy pun meletakkan bunga yang sama di atas makamnya. Setelah Peter yang ditemani dengan Alexis pergi meninggalkan area pemakaman, kini hanya kami yang tersisa di makam Jeremy ditemani keheningan sarat akan kesedihan. Walau begitu, di bawah cuaca berawan dan sejuk ini tidak ada suara tangis yang pecah. Matahari bersedia ditutupi oleh awan, seakan menyetujui kami berlama-lama menemani Jeremy yang sudah berada enam kaki di bawah tanah tanpa harus membuat kami merasakan panas.

Aku yang semula bersimpuh di samping makam Jeremy berdiri lalu sedikit mendekat ke arah Sebastian yang sedari tadi terus mengusap bahuku. Ia mencoba menguatkanku, padahal saat ini semua kesedihan itu telah aku pendam hingga tak terasa. Sebastian seharusnya tahu kalau aku terbiasa untuk kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Dan ketika Jeremy pergi, aku sudah terbiasa walaupun aku harus mengakui bahwa rasa sakit pasti ada untuk menemani kenangan yang akan menjadi masa lalu suatu saat nanti

"Sudah ingin pergi?"

Mendengar pertanyaan Sebastian, kepalaku menggeleng untuk menolak keras pertanyaan yang tersirat makna untuk mengajakku pulang dan meninggalkan tempat ini. Pergi dari makam ini menandakan bahwa aku harus kembali ke Pusat I dan mengurung diri di dalam kamar karena tidak tahu harus melakukan apa serta akan menerima amarah-amarah Peter karena ia sudah mengetahui kalau aku membohonginya beberapa waktu ini. Saat ini pun aku masih ingin menikmati saat-saat terakhir bersama Jeremy, tidak terlintas dalam otakku untuk pulang. Jadi tidak mungkin aku meninggalkan makam ini begitu saja.

"Peter menyuruhku untuk membawamu pulang karena ia ingin membicarakan sesuatu kepadaku."

Aku menatapnya sekilas, lalu kembali menatap makam Jeremy. "Kalau begitu kembalilah. Aku bisa ke Pusat I sendiri."

Sebastian mendengus. "Aku tetap menunggumu karena nyawaku akan hilang jika kau tidak ikut."

"Berlebihan. Sebaiknya kau menjadi aktor daripada melanjutkan posisi ayahmu, Sebastian."

Setelah mengucapkan itu, aku mendengar ia menghela napas berat dan melihat Sebastian mendadak merogoh saku celananya. Ia menatap serius ke arah layar handphone-nya yang bergetar itu. Dari tempatku berdiri, aku mendapati Sebastian tengah mengerutkan dahinya, kemudian menatapku seperti ingin mengatakan sesuatu.

"Aku harus mengangkat telepon, nanti aku kembali." Aku mengangguk sebagai jawabannya.

Sepeninggal Sebastian, suasana kembali sepi. Anggota Kamvoor yang lainnya sibuk tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Bahkan Douglas yang biasanya selalu mengatakan hal-hal yang membuat Arthur meninjunya pun terlihat murung. Terdiam dan menatap ke bawah dengan pandangan kosong.

"Aku rasa sebaiknya kita mulai menjalani kehidupan masing-masing." Suara Rapeeolen memecah keheningan dan membuat semua orang yang ada di sini hampir menatap ke arahnya secara bersamaan. Aku menatapnya dengan tatapan tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba Rapeeolen berkata seperti itu?

"Kau gila?!" sahut Douglas yang berada di sebelahnya.

"Aku tidak gila, Douglas," kesal Rapeeolen, "Aku hanya berpikir, untuk apa kelompok ini berdiri tanpa adanya pemimpin?"

"Kita bisa memilih pemimpin yang baru, Rape. Tidak perlu seperti itu."

"Kau benar, Douglas. Semudah itu untuk menggantikan Jeremy," balas Rapeeolen, "Tapi, tidak pernah ada yang bisa menggantikan Jeremy. Kalian tidak ingat saat kita dipertemukan karena tragedi di Pusat IX beberapa tahun lalu dan ketika Jeremy berhasil menghentikan orang-orang yang menghancurkan daerah kita, dan kita tidak punya tempat tinggal lagi, Jeremy bersedia menjadikan kita bagian dari kelompoknya."

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang