14

153 36 14
                                    


Deru napas Christian perlahan kembali normal saat ia berhenti berlari untuk mengejar Kinkan. Langkahnya terasa percuma karena adik dari Yanze itu sudah tidak terlihat lagi sejak beberapa menit lalu. Entah ke mana ia pergi, yang pasti kepergiannya itu membuat Christian tidak tenang saat ini. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan pada Yanze nanti saat sahabatnya itu tahu adiknya terlihat kacau. Bisa-bisa Yanze terus menembaknya dengan senjata karena mengira Christian melukai adiknya. Padahal tidak.

Di tengah-tengah aktivitasnya mengelap peluh di dahinya, Christian mendengar suara langkah kaki yang menghentak aspal di jalan yang tak jauh dari pesisir pantai. Sontak suara itu membuat Christian menoleh ke belakang dan membelalakkan matanya saat ia melihat wanita aneh tadi berlari dan sudah berada di sampingnya. Wanita itu menatapnya terus-menerus seolah-olah matanya berbicara bahwa ada sesuatu yang ia pendam mengenai dirinya, padahal seingat Christian ia tidak pernah bertemu dengan wanita berkemampuan lari yang cepat itu sebelumnya. Ia pun hanya memiliki beberapa teman wanita di kelompok Beacher-nya, serta Kinkan. Entah datang dari mana wanita ini.

Ia berdecak malas dan perlahan berjalan menuju rumahnya untuk menjauhi wanita ini. Namun sial, walaupun ia mempercepat jalannya, wanita itu tetap saja mengikutinya. Christian menyesal telah menghampirinya di pantai tadi jika pada akhirnya ia akan diikuti seperti ini. Ia tidak tahu apa tujuan wanita asing ini mengikutinya, yang pasti ia merasa terusik. Hingga saat ia sampai di titik bahwa ia benar-benar jengah, Christian berhenti dan menatap tajam wanita itu untuk mengintimidasinya. Tatapan ini hanya ia tunjukkan saat menjadi Hans.

"Mengapa kau mengikutiku, wanita aneh?!"

Teriakan itu tidak membuat Lusi takut. Justru tatapan mata itu—yang jika saja orang lain lihat pasti akan segera menjauh dari pria ini— membuatnya teringat pada sosok Galvecti. Ia sering kali mendapatkan tatapan mata seperti ini dan kini rasa rindunya seakan terobati dengan tatapan mata milik Christian.

Christian mendengus saat mendapati wanita di hadapannya justru terdiam tidak menanggapi pertanyaannya. "Aneh," gumamnya pada diri sendiri.

Saat ia hendak berbalik untuk meninggalkan wanita ini, tangannya ditahan oleh wanita itu. "Jangan pergi lagi," ucapnya dengan suara yang rendah dan hampir tidak terdengar.

"Memangnya apa masalahmu jika aku pergi?" jawab Christian.

"Aku akan sendiri lagi," balas Lusi, namun sedetik kemudian ia meralatnya. "Tidak, tidak. Tolong aku, Chris. Aku tersesat."

Sebelah alisnya terangkat. "Tersesat?" tanyanya tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Aku baru kali ini mendengar ada orang tersesat di pulau ini. Katakan, mengapa kau mengikutiku? Siapa yang menyuruhmu?"

Kedua alis Lusi menyatu. "Aku benar-benar tersesat, Galv—maksudku, Chris. Tidak ada yang menyuruhku."

"Aku tidak percaya," mata Christian memicing, "Aku melihat kendaraanmu yang kautepikan di pinggir pantai. Lalu dari caramu berpakaian, kau bahkan seperti seorang perompak. Apa kau mengincarku? Kau salah sasaran."

"Enak saja!" kesal Lusi. "Apa harus beribu kali aku tegaskan kalau aku bukan perompak agar kau percaya?" yang benar saja, aku bahkan lebih dari seorang perompak, batinnya.

Kini pergolakan batin tengah dirasakan oleh Christian. Ia sibuk meyakinkan pada dirinya sendiri untuk mempercayai wanita ini, tetapi sepertinya masih ada sedikit rasa tidak percaya dalam diri Christian.

Bisa saja wanita ini adalah orang yang diutus oleh musuh-musuh Al-Ahgaff untuk mencelakainya, atau dia adalah mata-mata mereka untuk mengawasi pergerakan kelompok tak bernama. Christian harus siaga akan semua kemungkinan itu.

Selain itu, yang membuatnya tidak percaya adalah tingkahnya. Bahkan saat pertama kali mereka bertemu pun—astaga, bahkan ia tidak tahu apa isi otak wanita ini.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang