16.1

170 36 21
                                    

Hari ini, untuk pertama kalinya aku benar-benar terlibat dalam project yang dibuat oleh Luna. Jari-jariku sibuk bergerak di atas keyboard untuk mengetikkan rentetan huruf, angka, dan simbol agar kami bisa membuka sistem keamanan dan mencari data-data yang kami perlukan.

Tidak sampai di situ, Pauline memberikanku tugas berat seperti mengecek beberapa detector dan keping logam yang siap dipakai, lalu menghubungkan kode yang ada pada bagian detector ke dalam protokol keamanan agar saat mesin itu dipakai nanti, data-data yang didapat tidak mudah dicuri oleh orang lain.

"Hai, Lusi. I'm back. Lihatlah, Pauline, Lusierce kita yang dulu telah kembali."

Mendengar suara tawa mereka di saat Luna dan Pauline baru saja masuk setelah mengontrol bagian tengah laboratorium, aku mendengus karena mereka sudah pasti mentertawakan penampilanku hari ini. Bukan, bukan aku yang ingin memakai kemeja berwarna pink dan rok bahan selutut serta kuncir rambut yang juga berwana pink untuk mengikat rambutku agar membentuk seperti ekor kuda. Apalagi high heels berwarna merah maroonwalaupun tidak terlalu tinggi, tetapi aku tidak suka memakainya karena lebih baik menggunakan boots atau flat shoes. Ini semua adalah ulah Luna sendiri, yang dengan semangatnya mengubah penampilanku seperti semula. Tanpa bayang-bayang warna hitam lagi.

Kau sudah berjanji untuk kembali seperti semula saat Galvecti kembali padamu lagi, maka sekarang aku yang akan meriasmu jika kau lupa bagaimana fashion wanita saat ini, begitu katanya saat masuk ke dalam kamarku tiba-tiba di pagi hari. Dan sialnya, dia bergerak cepat hingga aku terpaksa harus menurutinya karena tidak bisa mengelak dan tidak mungkin aku memakan ucapanku sendiri.

"Diamlah, Luna. Ini 'kan ulahmu sendiri tadi pagi, bukan aku sendiri yang mengubahnya. Kau tidak perlu merasa senang karena ini hanya sebuah tampilan. Aku tetap akan perang—"

"Perang bagaimana maksudmu? Kau akan mengikuti peperangan dengan baju pink seperti itu?"

"Bodoh!" kesalku pada Luna, "Tentu saja tidak. Karena urusan perang, kau tidak bisa ikut campur."

Pauline dan Luna saling berpandangan saat hendak mengambil kertas laporannya, lalu mereka berjalan ke arahku dengan langkah gontai. Luna yang paling terlihat gusar menuju kursi di hadapanku dan ia duduk di sana, menatapku dalam, sedalam ia menghela napasnya. Seolah-olah ada hal berat yang ia pikul.

"Galvecti sudah kembali, walaupun tidak benar-benar kembali karena pria itu hanya mirip dengannya. Kau sudah berikrar, maka tanamkanlah kata-katamu waktu itu untuk sebuah landasan hidupmu nanti," tatapan lelah itu terlukis jelas di wajahnya, "Aku sudah lelah melihatmu masuk ke dalam jurang bahaya. Kau rela menghabiskan darahmu hanya untuk rasa sedih yang bahkan tidak sebanding dengan darahmu? Sudah sebaiknya kau berdamai, apa kau yakin dia di atas sana akan senang melihatmu terluka seperti kemarin?"

Aku terdiam, kata-kata Luna memang hanya terdengar biasa saja. Namun, apa yang ia ucapkan dapat membuat jantungku seolah terkena pukulan keras, kembali teringat Galvecti.

"Kau tahu, aku tidak—"

"Tidak apa? Tidak bisa meninggalkan teman-teman perangmu?" aku mengangguk, dan Luna melanjutkan kata-katanya, "Tidak masalah, aku paham kau menganggap mereka seperti menganggap keluargamu sendiri. Tapi, tidak seharusnya kau terlibat lagi, 'kan? Kau bisa memantaunya saja."

"Aku belum menemukan Fathir," akhirnya, suara lirihku perlahan-lahan terdengar. "Dia belum mati di tanganku."

"Masih ada Greg, dia sampai saat ini masih mencari keberadaannya. Kau tidak perlu khawatir," ucap Pauline dari tempatnya berdiri, "Aku juga mencarinya, tetapi belum membuahkan hasil yang akurat. Aku pernah salah orang, Fathir benar-benar hebat."

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang