25

155 25 55
                                    

"Kalian semua tahu mengapa aku mengumpulkan kalian berempat di ruang khusus ini?" suara Fathir yang terlampau berat dan menyeramkan itu membuat empat pria yang kini tengah berdiri kaku di hadapannya terlihat ketakutan. Keringat-keringat mereka mengilap di tengah suasana penerangan yang redup, sambil mengangguk pasrah atas apa yang akan mereka terima nanti. Mereka tahu betul di mana mereka sedang berdiri. Di ruang hukuman.

"Apa kalian kehilangan mulut kalian?" desis Fathir. "Jawab!" teriaknya.

"Tahu," balas mereka dengan gemetar. Salah satu di antara mereka bahkan menunduk serendah-rendahnya pada Fathir. Ia jelas tahu apa yang tengah pria itu pikirkan—apalagi kalau bukan nasibnya untuk memimpin keluarganya. Dan semua orang di tempat ini tahu apa artinya orang-orang yang sudah berada di dalam ruangan ini. Lumpuh atau mati.

"Kalian membahayakan rencana yang telah aku buat," ucapnya dingin, semakin menusuk keempat pria yang kini semakin pucat pasi, "Dan membuat beberapa rencanaku berantakan."

"Hampir saja kalian menghanguskan senjata utamaku," lanjutnya. "Dan kalian tahu apa dampaknya?"

Setelah melihat anggukan yang membuatnya sedikit geram, Fathir melanjutkan. "Pemerintahan mendapat jejak kita melalui sisa-sisa bom itu! Apa kalian bodoh sampai-sampai tidak tahu di mana seharusnya kalian meletakkan bom itu dan jenis bom apa yang kalian pakai, hah?!"

Mereka terdiam mendapat amarah dan makian Fathir. Kini, kesimpulan mereka sama; mereka semua akan mati.

Fathir berdiri, menopang tangannya di atas meja sambil tersenyum miring. "Beruntungnya dua mainanku itu tidak mati," ia terkekeh, "Kalian yang harus menanggungnya. Kalian yang harus mati karena kecerobohan kalian semua. Itu kesepakatan kita dari awal, bukan?"

Ucapan Fathir membuat mereka memejamkan mata, meneguk salivanya sendiri yang kini terasa pahit dan sulit ia telan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menerima konsekuensi itu.

"Baiklah—"

"Kumohon, Tuan. Jangan bunuh kami! Kami bisa membantumu untuk menghadapi akibat dari apa yang kami lakukan," lirih pria berkepala tiga itu.

Di tempatnya, Fathir mengangkat sebelah alisnya. Ia jelas-jelas tertarik dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu.

"Maksudmu, Alfred?"

Mata pria itu berkaca-kaca. "Aku mengenal Arthur, dan mungkin ia serta teman-temannya itu bisa membantu kita."

"Kenapa kau berpikir jika Arthur bisa membantu kita?"

"Dia–" ucapannya terhenti sebentar, ragu untuk mengungkapkan sesuatu yang ia sendiri pun tidak yakin apakah Arthur mau menerima permintaannya atau tidak, "–dia pandai berperang. Dia anggota Kamvoor."

Kedua sudut bibir Fathir bergerak naik, membentuk sebuah senyuman. "Kamvoor?" gumam Fathir yang setelah itu diikuti oleh tawa kecilnya, "Aku sedikit tertarik. Apa ini bukan lelucon terakhirmu sebelum kau mati, Sobat?"

"Tidak," ucap Alfred sungguh-sungguh. "Aku rasa kita bisa mengatur ulang strategi yang kami hancurkan, Fathir. Dengan tambahan Kamvoor sebagai rekan."

Fathir menatap keempat pria itu tajam, lalu ia tersenyum puas. "Baiklah. Jika Kamvoor tidak bergabung dengan kita dalam dua hari ke depan, maka kalian akan melihat kematian keluarga kalian dengan mata kalian sendiri," ucapnya tajam, "Terutama kau, Alfred. Kau yang akan lebih dulu melihatnya jika saja apa yang kau katakan tadi gagal."

Alfred dan yang lainnya mengembuskan napasnya lega. Mereka tidak tahu harus merasa senang atau sedih, karena Fathir tidak main-main dengan ucapannya. Kematian ada di depan mereka.

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang