9

181 40 18
                                    

Hampir dua jam aku harus terjebak bersama Sebastian di dalam mobil sport miliknya. Jika saja aku adalah wanita-wanita penggemarnya seperti yang ia ceritakan di sepanjang perjalanan menuju lokasi perang, maka aku akan histeris berada di sampingnya. Namun kembali pada realita, aku bukanlah penggemarnya bahkan semenjak kami sekolah di Junior School yang sama. Jadi saat ini aku harus terpaksa mendengarkan cerita-cerita mengenai kariernya di NBA, perkuliahan yang aku tidak mengerti, tugas-tugasnya yang menumpuk karena ia berusaha keras untuk cepat lulus, atau tentang wanita-wanita yang mengejarnya saat di universitas alih-alih tersenyum senang mendengar suaranya sepanjang jalan. Semua yang ia bicarakan hanya melintas di telingaku, tidak berniat benar-benar mendengarkan apa yang ia bicarakan.

Mobil berhenti setelah sampai di sebuah gang sempit yang menjadi jalan pintas untuk sampai di gedung terbengkalai itu. Aku membuka pintu, lalu turun dan melihat ke sekitarku takut-takut ada kamera yang dapat membuat Greg mengetahui keberadaanku. Setelah dirasa aman, aku menghela napas dan hendak menutup pintu mobil agar bisa pergi sesegera mungkin.

"Jaga dirimu baik-baik, Lusi." Tangan Sebastian menahan pintu mobil yang hendak aku tutup, dan sukses membuatku berhenti dan menatapnya.

"Aku tahu."

"Baiklah, aku pergi. Aku usahakan Greg atau Mr. Galucci tidak mengetahui keberadaanmu."

"Itu keharusanmu, karena jika mereka mengetahui aku berada di mana, orang yang pertama kali aku salahkan adalah kau." Aku mendengar kekehannya. "Sebaiknya kau cepat pergi, Sebastian. Sebelum anggota kelompok musuhku melihatmu dan menjadikanmu sebagai sanderaan."

"Sebenarnya aku tidak apa-apa menjadi sanderaan, asalkan itu demi keselamatanmu."

"Terima kasih, tetapi sepertinya tidak perlu. Masih ada orang lain yang bisa menyelamatkanku."

"Well, aku menunggumu," ucapnya lalu tersenyum miris, "Maksudku, menunggumu di rumah."

Aku mengembuskan napas, lalu berbalik meninggalkan mobil tanpa menoleh lagi ke arahnya. Langkahku semakin jauh, seiring dengan suara mesin mobil yang kembali terdengar, lalu menghilang begitu saja dari telingaku.

Gang yang aku lewati ini sepertinya awal mula gedung terbengkalai itu. Terlihat dari dinding-dindingnya yang penuh akan mural dan lumut, lalu serpihan-serpihan batu dan alumunium yang membuat gang ini terkesan kumuh hingga jarang—atau bahkan tidak ada— orang yang melewati gang ini. Nanti aku harus menyarankan pembenahan tempat ini pada Ayahnya Sebastian, agar tempat ini dapat dimanfaatkan dengan baik daripada terbengkalai.

Sampai di ujung gang, aku langsung di hadapkan dengan bagian belakang gedung. Beberapa bagian dari gedung ini sudah tidak memiliki dinding, hanya tembok-tembok bekas dihancurkan yang bertengger di tiap sudutnya untuk menopang gedung agar tetap berdiri. Di pinggiran dinding dan lantainya itu pun terdapat tumbuhan menjalar yang menjuntai ke bawah. Tempat ini terlihat menyeramkan, pantas saja tidak ada orang yang berani melintasi gedung dan membuat Jeremy menjadikan tempat ini sebagai tempat peperangan selanjutnya.

Mataku melihat sosok Furoshi yang juga anggota Kamvoor sedang berdiri di balik sebuah dinding dengan bingkai jendela yang sudah tidak berkaca lagi. Di sana ia mengintip ke arah luar, dengan sniper di tangannya. Dahiku berkerut, ke mana yang lainnya?

"Furoshi!" aku sedikit berlari ke arah tempat ia bersembunyi. Aku melihat kedua matanya melebar saat ia menatapku, lalu membuka pintu itu pelan-pelan dan mengisyaratkan aku agar cepat-cepat masuk ke dalam sana.

"Lusi! Kau telat beberapa menit!"

"Maafkan aku, di mana yang lainnya?"

"Di sini hanya ada aku, dan Arthur di bagian halaman depan. Kalau aku tidak salah, kau ditempatkan di lantai lima bagian ruangan belakang. Kau bersama Jeremy di sana."

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang