1

691 59 30
                                    

Suasana yang sebelumnya dingin akibat cuaca malam, berubah menjadi menyeramkan begitu aku memasuki ruang tengah. Hening. Bahkan suara dentingan jam dinding menambah suasana menjadi tegang. Pada awalnya aku tidak tahu mengapa ketegangan ini kian terasa, tetapi setelah melihat seseorang yang tengah duduk di ujung sofa pojok ruangan, aku menghela napas berat. Peter sedang menatapku tajam seolah-olah ia seperti elang yang menemukan mangsanya. Aku kira malam ini akan selamat, tetapi sepertinya kedatanganku sudah ditunggu untuk sasaran kemarahan Peter.

"Kau pulang?" ucapnya datar. Aku mengangguk, dan tanpa ia suruh lagi, aku duduk di sofa yang berhadapan dengan posisi ia duduk. Seperti biasanya. Tiap langkahku bahkan diperhatikan olehnya, dan itu membuatku gugup seketika.

"Iya, aku–"

"Setelah dua hari tidak pulang, dan setiap sampai di rumah selalu larut malam. Greg bilang kali ini ia menemukanmu di Pusat IX. Sedang apa kau di sana? Ikut perang lagi?"

Aku mendesis. Anak itu benar-benar keterlaluan. Sudah berulang kali aku memintanya untuk merahasiakan kepergianku dari Peter, tetap saja Greg mengatakannya pada Peter.

"Iya," ucapku lalu meringis. "Kau tahu, 'kan kalau aku–"

"Ya, aku tahu. Tapi Lusi, itu berbahaya. Jangan libatkan dirimu lagi pada hal-hal yang membuatmu celaka."

"Peter, aku sudah menjadikan perang sebagai hobiku saat ini. Jika aku terlepas dengan peperangan, maka kau tahu, aku akan kembali pada masa-masa itu lagi."

"Tapi bukan seperti itu caranya."

"Lalu, bagaimana? Kau saja boleh mengubah sifatmu, mengapa aku tidak?"

"Jangan ikuti aku," Peter menegakkan tubuhnya dan menatapku lebih tajam. "Aku menjadi seperti ini karena memang perlu. Aku menjadi pemimpin, dan bahaya akan menghantuiku kapan pun. Sedangkan kau? Cukup aku kehilangan Galvecti, jangan kau juga."

Aku terdiam. Napasku terus berembus bersama keheningan yang tercipta. Aku mengerti apa yang Peter rasakan, dan sungguh, aku mengerti larangannya itu sejak pertama kali ia menegurku. Tapi, aku tidak bisa. Jiwaku sudah menyatu dengan kelompokku, Kamvoor. Jeremy dan yang lainnya selalu berhasil menghilangkan rasa sedih yang kerap kali meradang di hatiku. Tawa mereka selalu berhasil mengganti bulir-bulir air mata menjadi lantunan tawa semenjak aku bergabung bersama mereka. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Aku bangkit bersama mereka.

"Kau sudah pulang, Lusi?"

Alexis datang membawa nampan dengan dua gelas teh hijau kesukaan Peter. Ia tersenyum kepadaku dan kehadirannya berhasil membuat suasana tegang melenggang begitu saja. Ia adalah tunangan Peter, dan menurutku Alexis memang berhak menyandang status itu. Hanya senyumannya yang berhasil mematikan aura dingin Peter. Aku juga selalu suka senyumannya yang pasti menular padaku tiap melihatnya.

"Baru saja aku sampai. Kau menginap 'kan, Alexis? Tidak mungkin kau pulang larut malam seperti ini. Kalau begitu, aku harap kau mau tidur denganku. Aku sedang tidak ingin sendirian."

Ia meletakkan secangkir teh itu ke hadapanku. Aku mengernyit, ia membuatkan teh ini untukku?

"Boleh saja, asal kau tidak akan terganggu dengan pekerjaanku. Suara ketikan, desah frustrasi karena laporan tidak kunjung selesai, kau tidak keberatan dengan itu 'kan?"

Aku terkekeh. Aku lupa jika ia yang menggantikan posisi Peter di perusahaan lamanya. "Tidak apa-apa, bahkan aku bisa menemanimu jika kau mau."

"Jangan, sebaiknya kau tidur," sahut Peter. "Kau juga, Alexis. Lanjutkan di kantor saja, lagi pula Ario memintanya siang, 'kan? Kau masih bisa melanjutkannya besok pagi."

Persona Non GrataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang