Permohonan Maaf

491 23 0
                                    

Permohonan maafmu
Tak mempan padaku
Pulang, kataku

— Adnda, Pulang

* * *

Adinda menatap surat yang baru saja di berikan Alexa, sambil duduk di pinggiran kasur kamarnya.

Tulisan itu benar tulisan Reksa, Adinda ingat betul sebagaimana berantakannya tulisan cowok itu.

Air mata Adinda menumpuk di pelupuknya sambil ia mencoba membuka amplop tersebut.

Adinda, sayang...

Adinda tersenyum haru, seakan Reksa-lah yang mengatakan kalimat barusan dengan nada hangatnya.

Maaf.

Kemudian jantung Adinda berpacu cepat. Maaf untuk apa? Sesuatu tidak beres?

Maaf kalo aku menghilang selama ini.
Maaf kalo aku nggak ngabarin kamu.
Maaf...

Adinda tak bisa menghentikan air matanya yang seakan terus meleleh turun, membasahi pipinya.

Maaf
karna mungkin, aku nggak akan balik ke Jakarta.

DEG! Secepat Adinda dibuat terharu, secepat itu juga ia dibuat pilu. Reksa-nya nggak akan balik ke Jakarta?

COWOK ITU GILA?!, teriak Adinda dalam hatinya yang kini berkecamuk, campur aduk.

Aku nggak akan balik, sampai waktu yang tidak di tentukan.
Jadi, mendingan kamu berhenti nungguin aku.
Kejar cita-cita kamu, lupain aku.

HAH, Adinda menghela nafas keras. Ngomongnya enak, ngelakuinnya susah, tau!

Aku sayang kamu.
Jadi kalo emang kita jodoh
Reksa dan Adinda
Kita bakalan ketemu lagi, nanti.

Adinda menangis terisak, sampai-sampai bahunya terguncang, menimbulkan suara isakan yang terdengar sampai ke lantai bawah.

Gilang dan kawan-kawannya bergerak dan berhenti di depan pintu kamar Adinda yang tidak tertutup rapat.

Adinda sekarang sudah terduduk di lantai kamarnya dengan punggung menyandar di pinggiran kasurnya.

Bahunya terguncang, kakinya di tekuk menutupi wajahnya, dan surat dari Reksa bergantung di tangannya.

Gilang dan yang lainnya hanya bisa menatap nelangsa Adinda, tanpa dapat membantu.

Adinda akhirnya mendongak, melipat kertas tersebut kemudian menaruhnya di atas nakas.

Begitu melihat Gilang dan yang lainnya berdiri di depan pintu kamarnya, ia segera berlari dan memeluk Gilang erat.

Gilang mengerti, tanpa perlu Adinda katakan, dia jelas mengerti. Lagi, Reksa menyakiti sepupunya itu.

Jadi Gilang hanya mengelus rambut sebahu Adinda dengan pengertian, membiarkan bajunya basah dengan air mata cewek itu.

Sementara Gading dan Arkan memilih meninggalkan kedua saudara sepupu itu di sana.

* * *

Jam menunjukkan pukul delapan lewat ketika Gilang dan yang lainnya memutuskan pulang. Adinda hanya mengangguk.

Ia sedang sibuk—tepatnya menyibukkan diri—menonton koleksi film horor Adrian sampai kakaknya itu pulang.

"Kalo sampe jam sebelas Adrian belom pulang, titip kunci ke gua." Pesan Gilang sebelum keluar pintu rumah.

Adinda hanya mengangguk samar, menatap serius ke arah televisi sambil menggumamkan segala sumpah serapahnya.

Gilang menatap ketiga sahabatnya, mengisyaratkan mereka mengikutinya dari belakang hingga berhenti di sebuah kafe.

Kafe yang waktu itu mereka berempat—Gilang, Gading, Arkan dan Adinda—jadikan sebagai tempat berbolos ria.

Gilang tersenyum miring pada kedua temannya kemudian menelepon seseorang.

"Ha?"

Suara diseberang sana, merupakan suara yang membuat Adinda rindu, yang membuat Adinda nangis juga barusan.

Ya, Reksa.

"Sa, rencana lo kocak." Ucap Gilang sambil geleng-geleng kepala. "Setelah ini, gue bakalan bikin perhitungan karna udah bikin sepupu gue uring-uringan."

Reksa di seberang sana terkekeh. "Siap, laksanakan!" Balasnya ringan.

Seketika sambungan terputus. Gilang melakukan tos dengan kedua temannya yang dari tadi nyengir-nyengir nggak jelas.

Please wait 'till we're done, Din.

* * *

REPUBLISH!!! 😊

StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang