11. Dilema

145K 8.2K 88
                                    

"Kadang aku benci, tapi aku rindu. Semesta seolah mempermainkan perasaanku."

***

Naomi menopang dagunya sambil melamun di kelasnya. Jam sudah bel istirahat, tetapi Naomi masih diam duduk di kursinya. Pikirannya entah melayang kemana-mana. Gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Dia masih ingat jelas ucapan Roy kemarin saat bertemu di toko buku.

"Dia butuh lo."

Perkataan Roy terus terngiang di telinga gadis itu. Apa maksudnya Roy mengatakan hal itu kepada Naomi? Naomi memejamkan matanya dan menelungkupkan kepalanya ke atas meja.

"Naomi, lo kenapa sih?" tegur Reina menyenggol bahu sahabatnya itu.

Gadis itu masih diam tak berkutik, dia belum menyadari kehadiran Reina di sampingnya. Reina menghela napasnya dan menarik bangku kosong di depan meja yang diduduki Naomi. Reina menyentuh bahu Naomi pelan dan mengusapnya.

"Nom, lo kenapa?"

Naomi mendongkak menatap Reina dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti banyak luka dalam tatapan itu. Mata Naomi memerah menahan air matanya yang menggenang di pelupuk matanya. Naomi memeluk Reina dengan erat dan sesenggukan di bahu sahabatnya itu.

Sontak saja Reina kaget, setahu Reina, Naomi itu gadis yang sangat kuat. Dia tidak pernah menangis sambil memeluknya seperti ini. Paling juga Naomi hanya menangis saja tidak sampai memeluk Reina atau Oki. Seperti ada sesuatu yang membuat Naomi sangat sedih seperti ini.

Reina mengusap punggung sahabatnya itu, "Nom, lo kenapa?"

"Gue—hiks...,"

"Udah jangan nangis, lo cerita sama gue." kata Reina mencoba menenangkan Naomi.

Naomi melepaskan pelukannya, dan mengusap air mata yang membasahi pipi mulusnya. Naomi menatap Reina, "Rein," panggilnya pelan.

Reina mengangguk, "Iya, lo kenapa?"

Naomi menggeleng, dia berbohong. Mana mungkin Naomi tidak apa-apa, tetapi dia menangis tidak seperti biasanya. Naomi mencoba tersenyum, "Oki mana?"

Reina menghela napasnya melihat sahabatnya itu, "Oki tadi ke ruang guru, disuruh Bu Nina." jawabnya, dia menatap Naomi lagi. "Lo jangan bohong Naomi, gue tau lo lagi ada masalah. Lo bisa cerita sama gue, Nom," lanjut Reina memegang bahu sahabatnya.

"Gue ... gue kepikiran sama Ken," Naomi menunduk.

Reina menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran Naomi. Tetapi Reina tidak ingin membuat Naomi semakin sedih, kalau dia membentaknya karena Naomi selalu memikirkan Ken. Bukannya apa-apa, tapi Reina tidak ingin melihat sahabatnya itu harus tersakiti dengan keadaan seperti ini.

"Naomi, liat gue," ucap Reina. "Lo yang ngambil keputusan, itu artinya lo harus bisa yakinin perasaan lo!" lanjutnya dengan setenang mungkin agar tidak menyakiti hati sahabatnya itu. "Jangan mikirin, Ken lagi! Udah cukup, Nom."

Naomi mengangkat kepalanya, "Rein, bukan itu."

"Terus lo kenapa?" tanya Reina mengusap bahu sahabatnya.

"Kemarin, gue ke toko buku sama Dimas. Di sana, gue ketemu Roy sama Anya. Roy bilang Ken sakit, dan kata Roy dia butuh gue." cerita Naomi mengusap air matanya yang masih mengalir.

Reina terdiam menatap Naomi. Seperti ada sesuatu yang ingin sekali Reina katakan kepada Naomi, tetapi Reina takut akan membuat sahabatnya itu kembali sedih dan menangis.

"Udah, lo jangan nangis lagi, ya. Kita ke kantin aja, yuk?" ajak Reina tidak ingin membuat Naomi sedih.

Naomi menggeleng, "Gue gak laper, Rein."

Stay with MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang