Namaku Rendi, nama yang singkat penuh makna dan sedikit menghemat waktu ketika aku mengisi kolom nama saat ulangan semester. Lelaki sejati yang insya allah taat pada agama, lahir di rumah sakit dengan kasur yang nyaman dan dibantu dengan dokter cantik tentunya.
Aku tinggal di Jakarta Timur bagian selatan, sebut saja nama jalannya 'Jalan Jambu' karena di daerah itu banyak sekali pohon jambu, sedangkan aku tidak suka itu.
Aku suka sekali jika ada yang datang ke rumahku, karena pasti ibuku akan mengeluarkan semua makanan yang ia sembunyikan di dalam kamarnya, dan aku juga ikut memakannya kemudian kubawa sebagian makanan itu ke kamarku.
Membuat orang tersenyum di sekitarku adalah sebuah kesenangan tersendiri bagiku, kecuali Mang Darta yang suka senyum-senyum sendiri di depan Toko Buku Jalan Cempedak itu, nanti akan kuberi tahu jika kamu bertemu denganku. Orang yang baru kenal denganku akan menyebutku 'si pendiam' tapi itu tidak berlaku untuk yang sudah lama kenal denganku.
Ayahku seorang guru tapi dia sudah lama pensiun dan waktunya beristirahat untuk menghabiskan masa tuanya dengan membaca koran, ia bernama Mulyadi Zulkarnain. Dan ibuku, Erni Kartinah, ibu rumah tangga yang selalu giat membangunkan anak-anaknya di pagi hari untuk sholat subuh. Kalau kamu ingin tinggal di rumahku, kamu akan suka pada ibuku dan akan bosan melihat ayahku. Hehe tapi bagaimanapun dia tetap ayahku juga.
Banyak hal yang aku suka, terutama seni, kecuali seni tari. Dunia sepak bola aku juga suka. Tapi, ada satu hal yang aku tidak suka, Pak Rudi, dia laki-laki, seandainya ia berjenis kelamin perempuan mungkin bisa saja... Bisa saja apa ? sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk membahas Pak Rudi. Selain Pak Rudi ternyata masih ada lagi yang aku tidak suka, yaitu Hujan.
Jika dirimu menyukai hujan, itu urusanmu. Aku lebih menyukai pelangi setelah hujan. Aku pernah bertanya pada ibuku, mengapa aku tidak pernah melihat pelangi di malam hari?
"Kelak kamu akan melihatnya," kata Ibu.
Aku yakin itu hanyalah sedikit hiburan untukku karena sampai sekarang aku menulis cerita ini pun aku belum melihat pelangi di malam hari.
Aku baru saja lulus SMP dan sedang menikmati masa libur panjang dan aku sangat bosan tidak pergi jalan-jalan seperti yang dilakukan oleh temanku yang lain. Aku hanya menghabiskan waktu dengan membaca buku, makan, tidur, buang air, atau bahkan bermain game, kalau aku bosan dengan hal itu, aku akan pergi sendiri sesuka hatiku mau ke mana.
Sebagian orang memang menyebutku pendiam. Terkadang aku mudah canggung atau bisa jadi pendiam jika bertemu dengan orang yang belum aku lihat sebelumnya. Tapi aku juga bisa bersikap sebaliknya kalau orang itu membuatku merasa nyaman.
Kalau di sekolah, aku lebih memilih tidur ketika hujan, mungkin hujan membuatku nyaman untuk sedikit beristirahat dengan kemudian aku bisa melihat pelangi setelahnya. Hujan juga membuat suhu di Jakarta jadi lebih baik dan itu membuatku nyaman untuk tidur.
Di dunia ini hanya satu orang yang bilang kalau aku pintar. Dia ibuku, setelah itu tidak ada lagi dan aku harap semoga di SMA nanti ada yang menjadi nomor dua setelah ibu.
Aku ingin sekali tahu cara belajar yang benar karena aku tidak pernah bisa konsentrasi penuh ketika sedang belajar. Tapi anehnya, aku selalu mendapat ranking di kelas dan tidak pernah dapat lebih dari 5 besar. Ibuku sendiri pun bingung dan ia tetap percaya itu semua hasil kerja kerasku.
Ibuku bilang kalau aku yang paling cerdas di antara yang lain. Ntah itu hanya untuk membuatku senang atau itu memang serius penilaian dari seorang ibu.
Disaat anak-anak yang lain menggambar gunung dengan satu matahari dan ditambah jalanan yang tidak jelas. Aku lebih memilih menggambar pesawat, pelangi, balon udara, atau yang berhubungan dengan yang ada di langit, kecuali celana dalam terbang.
Sejak kecil aku memang sudah menyukai pelangi, ketika sehabis hujan aku tidak melihat pelangi, aku pasti akan marah pada ibuku walaupun aku tahu sebenarnya bukan ibuku yang menciptakan itu. Tapi kamu tidak perlu khawatir, karena sekarang aku sudah tidak seperti itu.
***
"Kamu jangan lupain aku ya kalau kamu sudah SMA nanti," kata perempuan yang sempat aku kagumi.
Aku hanya mengaguminya sebagai sahabat yang baik, yang bisa menemaniku kapan saja dan selalu bisa membuatku tersenyum. Tapi aku sudah tidak akan pernah bisa melihatnya lagi, ia sudah tenang dan senang di sana.
Aku pernah begitu mengagumi seseorang sampai ia tak mau lepas dariku, begitu pun denganku. Kita berteman baik sampai tidak ada yang bisa membuat kita jadi jauh. Dan sampai akhirnya pernyataan itu sudah tidak berlaku lagi, maut yang membuatku dan dia jauh. Tidak lagi bicara, bertemu, atau bahkan melihat senyum manisnya lagi.
Saat mendengar kabar buruk tentangnya, perasaanku sangat hancur saat itu, dan aku tidak percaya karena begitu cepat kejadiannya. Layaknya kaca yang jatuh di jalan, dan hancur terlindas sampai menjadi butiran. Padahal kami sudah merencanakan sesuatu untuk ke depannya. Tapi rencana itu seketika gagal semuanya.
Aku harus belajar ikhlas untuk menerima semuanya. Karena larut bersedih pun tidak akan membuatnya hidup kembali.
Kamu pernah ditinggal orang yang kamu sayangi? Tapi bagaimana jika ditinggalnya untuk selama-lamanya? Kamu sudah tidak bisa melihatnya lagi sampai kapanpun. Bahkan tidak akan pernah lagi merasakan kenyamanan ketika didekatnya.
Ada satu hal yang tidak bisa aku lupakan ketika bersamanya. Sehari sebelum ia pergi untuk selamanya, aku dan dia masih meyibukkan waktu berdua dengan bermain di rumah temanku, Dodo. Saat itu sampai sore aku masih melihatnya tersenyum bahkan sesekali tertawa lepas.
Aku tidak bisa sebut namanya, tapi kalau kamu mau, sebut saja ia bidadari yang suka mandi di ujung pelangi. Mungkin ia satu-satunya perempuan yang berhasil membuatku nyaman bahkan jatuh cinta. Tapi saat itu aku mengerti, bukan waktu yang tepat untuk berpacaran. Dan kalau aku pacaran mungkin hanya merusak persahabatanku dengannya.
Jatuh cinta pada sahabat sendiri memang membuatku keliru. Aku berpikir saat itu. Kalau aku pacaran dengan sahabatku sendiri, kalau putus aku bukan hanya kehilangan pacar, tapi juga sekaligus sahabat. Nanti akan seperti pertama bertemu, akan canggung lagi, tidak akan berbicara lagi, atau bahkan saling membenci.
Saat itu memang aku mencintainya. Rani bilang kalau ia juga mencintaiku. Dan akhirnya kita berdua sudah sepakat kalau kita lebih baik menjalankan apa yang sudah kita mulai sejak bertemu, sebagai sahabat. Mungkin itu akan terasa lebih baik.
Saat dihari ulang tahunnya, aku menyempatkan pergi ke rumahnya. Rumah pribadi yang akan menjadi tempat tinggal selamanya. Rumah yang akan lebih membuatnya tenang, senang, dan nyaman pastinya. Aku begitu yakin, ia pasti sudah tidak mencintaiku karena sudah ada yang membuatnya bahagia di sana.
Saat itu aku hanya bisa memberinya bunga dan doa untuk membuatnya senang. Tidak perlu boneka beruang yang sangat ia sukai. Aku akan senang ketika ia senang, dan seharusnya ia juga ikut senang kalau aku senang.
Aku ingin kamu senang kenal denganku dan bisa memahami apa maksudku. Kamu harus bisa seperti Mang Darta dan aku akan kenalkan padamu nanti. Tapi kalau kamu ingin melihat wajahnya, kamu akan takut atau bahkan tertawa dengan tingkah lakunya.
~~~~~~~~~~~~~~o0o~~~~~~~~~~~~~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
ReRei
Teen FictionRendi dan Reina. Dipertemukan pertama kali di sekolah baru. Berbeda kelamin, dan berbeda pendapat tentang apa yang disukainya. Rendi tidak menyukai hujan, sedangkan Reina sangat suka itu. Adrian, Tito, Yuli, dan Wahid. Kumpulan manusia yang membuat...