12. BIRD DAY

64 37 35
                                    

Reina masih berduka atas kepergian ayahnya yang sangat ia cintai. Harapanku yang ingin sekali bertemu dengan ayahnya seketika terkabul, namun tidak dengan apa yang aku inginkan, karena saat itu aku melihat untuk yang pertama dan terakhir kalinya.

Sekuat apapun seseorang, tidak akan ada yang bisa menahan kesedihan ketika merasakan peristiwa seperti itu. Aku yakin Reina orang yang kuat, tapi ia juga tidak mungkin kuat ketika mengalami kejadian itu.

Yuli yang saat itu menginap di rumahnya Reina, menyaksikan ramainya orang yang berdatangan kemudian meneteskan air mata atas kepergian orang yang mereka sayangi untuk selama-lamanya.

Setelah aku dapat kabar, ternyata ayahnya Reina memang sudah lama sakit. Ia mengalami penyakit jantung yang sudah lama di deritanya. Dan kita pulang lebih cepat dari Bandung itu karena ayahnya sudah dalam kondisi kritis. Mungkin Tuhan lebih sayang, seperti sama halnya dengan orang yang pernah ada di hidupku, ia di panggil lebih cepat karena Tuhan tidak mau melihatnya menderita di dunia ini.

***

"Kita kasih apa ya ke Reina?" tanya Yuli.

Aku pastikan kali ini tidak sedang bercanda.

"Dia suka apa emangnya?" saut Adrian.
"Bakso," jawabku.
"Masa kadonya bakso," kata Tito.
"Hahaha."

Saat itu sedang ada rapat kecil-kecilan di rumahku. Adrian, Tito, Yuli, dan beberapa teman kelasku yang lain ikut membahas kejutan untuk Reina. Reina tidak ikut karena memang sengaja tidak di ajak. Kami sedang membahas kejutan untuk Reina dan apa kado terbaiknya.

"Udah lah bakso aja, hemat," jawab Tito.
"Nah, setuju kan To?" kataku.
"Yaudah aku juga ikut," ujar Adrian.
"Hmmm," kata Yuli yang tidak ingin berkomentar.

Akhirnya kami akan memberi kejutan esok harinya di sekolah. Malam harinya, kami sudah pesan bakso dan akan di kirimkan besok pagi. Kami juga sudah menyiapkan satu donat dan di taruh lilin di tengahnya. Lilinnya bukan lilin yang kecil atau yang berbentuk angka umurnya saat itu, tetapi lilin yang biasa di pakai ketika mati lampu.

Rencana sudah siap dan semoga berhasil. Aku tidak perlu ragu lagi karena kali ini tidak akan salah. Aku menyuruh teman kelasku datang lebih pagi, dan aku akan datang dengan Reina. Aku akan jemput dia dan akan berpura-pura tidak tahu kalau saat itu ia sedang berulang tahun.

Matahari terbit di ikuti cuaca yang nampak cerah. Semoga di hari ulang tahunnya baik-baik saja dan semua rencananya berhasil.

"Ren, tau nggak sekarang hari apa?" tanya Reina padaku ketika dijalan.
"Hari Rabu?" jawabku.
"Ih bukan!" katanya dengan kesal.
"Seingatku hari ini itu hari rabu, kan kemarin selasa."
"Iya tau, tapi selain hari rabu, sekarang itu hari apa?"
"Hmmm---" aku seperti sedang berpikir.
"Hari wednesday?" lanjutku.
"Ah au ah," jawabnya.

Dia tidak tahu kalau saat itu aku sedang senyum menahan tawa karena sedang membuatnya kesal. Sebenarnya aku tidak tega, tapi tak apalah, yang penting nantinya berhasil. Sudah hampir sampai sekolah, tapi kita juga belum berbicara lagi. Setelah turun dari motor, ia berjalan cepat sekali seperti sedang berlomba untuk mencapai garis finish.

"Rei, tunggu," kataku sambil mengejarnya.
"Buru-buru banget," lanjutku.

Ia masih diam dengan berjalan cepat.

Pintu kelas sudah terkunci dari dalam, memang sengaja di kunci agar Reina tidak bisa membukanya.

Reina berusaha membuka pintu kelas tapi tidak berhasil. Ia mendorong sekuat mungkin dengan tenaga seadanya, sedangkan aku hanya melihatnya saja.

"Uhhhh...," ia seperti sedang mengeluarkan tenaga dalam untuk membuka pintunya.

Reina sudah menyerah, ia diam di depan pintu. Kemudian aku memberi kode ke dalam kelas lewat jendela untuk membuka kuncinya.

ReReiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang