13. TAHUN BARU

72 38 27
                                    

Tidak mungkin rasanya jika sudah lama aku bersama Reina tapi tidak ada rasa. Aku merasa semakin nyaman ketika di dekatnya. Sampai sejauh ini pun aku tidak merasa bosan karena harus terus melihatnya, melihat senyumnya, atau bahkan tawanya yang indah itu.

Liburan semester yang panjang hanya aku habiskan bersama teman-temanku. Tadinya aku diajak pergi ke Lampung untuk merayakan Tahun Baru di sana, tapi aku lebih memilih di rumah dan mengajak teman-temanku.

"Malam tahun baru kita bakar-bakar di rumahku yuk?" tanyaku.
"Nanti kamu tinggal di mana?" saut Tito.
"Bukan bakar rumahnya Rendi, To, kita bakar apa gitu, bakar kamu juga boleh," saut Reina.
"Hahaha."
"Udah hitam gitu gimana kalau dibakar," ujar Yuli.
"Hahaha."

Yuli tidak bisa ikut, katanya ia ingin pergi bersama ibunya. Tapi ia tetap ikut bantu membeli bahan makanan.
Yuli akan pergi sore, sementara paginya akan ikut kami ke pasar.

"Kita bakar apa aja nih nanti malam?" tanya Reina.
"Sosis," kataku.
"Ayam," saut Adrian.
"Jagung," lanjutku.

Kemudian semua terdiam karena berpikir.

"Terus apa lagi?" ujar Reina.
"Oh iya, Tito!"
"Hahaha."
"Gak mempan aku mah," kata Tito.
"Hahaha."

Kemudian kami ke pasar dan mencari semua bahannya. Aku, Tito, dan Adrian hanya menunggu di tempat parkir, tidak ikut belanja karena itu urusan perempuan.

"Jagung enaknya direbus apa dibakar ya?" tanya Tito.
"Digoreng To," ujar Adrian.
"Hahaha."

Sedang asyik bercanda, tiba-tiba ada seorang ibu yang mengemis menghampiri kami.

"Dek.. Tolong dek.. Belum makan dua hari..," kata pengemis itu.

Aku hanya terdiam saat itu karena bingung harus berbuat apa, aku tidak pegang uang karena uangnya sudah dikasih ke Reina dan Yuli.

"Saya juga nggak punya duit mba," saut Tito.
"Ibu eh, bukan mba!" ujarku.
"Eh iya bu maap, duit saya habis semuanya tadi diambil orang," kata Tito.
"Iya bu saya juga, kalo mau ambil aja nih temen saya," kata Adrian menunjuk Tito.
"Dijual paling laku goceng," sautku.
"Hahaha."
"Enak aje!" ujar Tito.

Kemudian pengemis itu pergi, mungkin karena tidak ingin berlama-lama mendengar kami berbicara.

Aku memang tidak suka mengemis atau meminta-minta seperti itu. Walaupun aku punya hati untuk peduli kepada orang lain, tapi mengemis itu menurutku hanya untuk orang yang tidak mau berusaha. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Jadi untuk apa meminta-minta, padahal sebenarnya ia masih punya kemampuan untuk bekerja.

Setelah sudah berlumut badan kami karena lamanya menunggu para calon ibu belanja, akhirnya mereka datang juga. Reina dan Yuli membawa jagung, sosis, ayam, dan beberapa bumbu makanan.

"Asiik, jadi pesta nih," kata Adrian.
"Kita bakar rumah Rendi!" saut Tito.
"Hahaha," lanjutnya dengan tertawa.
"Rumahku anti api!" ujarku.
"Hahaha."
"Udah lengkap semua nih, sekarang kita pulang," kata Reina.
"Siap komandan!" hormat Tito.

Setelah dari pasar, kami ke rumah Reina, ia ingin mengajak adiknya yang lucu itu, Firgo. Firgo keluar dari dalam rumahnya dan menghampiri kami.

"Adiknya ganteng, nggak kayak kakaknya," kata Tito.
"Kan beda kelamin, To," ujarku.
"Hahaha."

Kemudian Reina izin ke ibunya untuk mengajak adiknya.

"Bu, aku ke rumah Rendi ya, Firgo aku bawa."
"Iyaa hati-hati, jangan nakal."

Adiknya yang menggemaskan itu akhirnya boleh diajak ke rumahku dan akan mengawal bidadarinya, Reina. Firgo itu orangnya pemalu sama seperti kakaknya yang pertama kali bertemu denganku. Ia hampir tidak pernah berbicara denganku, hanya senyuman dan tawanya saja yang dapat kulihat.

ReReiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang