5. HUJAN TURUN

104 59 46
                                    

Awan tebal dengan warna sedikit hitam menyelimuti langit di pagi itu. Mungkin pertanda akan turun hujan. Tidak bisa aku tebak kapan akan hujan, saat cuaca sedang cerah pun hujan akan turun, bukan?

Di kelas, baru ada aku dan Tito karena kita berdua manusia paling rajin di kelas itu. Reina belum datang padahal biasanya dia selalu datang dahulu. Atau aku yang datangnya terlalu cepat? Tapi sepertinya tidak.

Hampir semua murid sudah datang, tapi Reina belum juga. Aku khawatir dia lupa alamat sekolah atau dia sedang tidak enak badan karena tidur terlalu larut malam. Yang jelas, aku begitu memikirkannya saat itu.

Bel sudah berbunyi. Kemudian ada guru masuk. Dia perempuan dan aku seperti mengenalnya. Aku mencoba untuk mengingatnya, sepertinya aku pernah bertemu sebelumnya.

Dalam hatiku, "Bu Tuti!!! iya! Bu Tuti ini! Guru gaul!"

"Perkenalkan nama saya Tuti Handayani, ibu akan menjadi wali kelas kalian," katanya.

Aku tidak percaya dan sekaligus senang karena aku yakin dia akan menjadi orang tua yang baik di kelasku.

Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu. Dia Reina! Tapi wajahnya begitu murung dan terlihat tidak semangat sekali. Aku pikir dia tidak diberi uang jajan.

Dia mencium tangan Bu Tuti kemudian meminta maaf karena telat.

"Maaf bu, saya telat," kata Reina
"Iya slow aja gapapa," ujar Bu Tuti.

Mendengar Bu Tuti bilang begitu saja rasanya aku ingin tertawa.

Bukan waktu yang tepat sepertinya untuk bertanya dengan kondisi dia yang seperti itu. Aku senyum saja melihatnya. Wajahnya tidak sedikit pun mengarah padaku. Dia benar-benar membuatku untuk terus memikirkannya. Apa ia dingin lagi setelah sudah panas tadinya?

"Tidur jam berapa semalam?" tanyaku pada saat jam istirahat.

Dia diam, aku tetap berbicara.

"Kamu kesasar? besok-besok aku yang jemput deh, kan rumah kita dekat?"

Dia menunduk kemudian wajahnya tambah murung, lalu perlahan air matanya keluar.

Aku benar-benar merasa tidak tega saat itu. Aku malah jadi merasa bersalah.

"Maaf deh aku gak akan ganggu lagi," kataku.

Aku bisa merasakan, dia seperti begitu sedih saat itu. Aku yakin pasti ada masalah besar yang sedang ia hadapi.

"Rei? kau kenapa? diapain kau sama Rendi?" tanya Yuli dengan logat khas Medan yang datang dengan mengelus pundaknya Reina.

Reina masih menangis, tidak menjawab pertanyaan Yuli.

"Anggap saja sekarang kita sahabat Rei, kalau ada masalah cerita saja, mungkin kita bisa bantu," kata Wahid.

Aku merasa Reina sedang mengalami masalah yang cukup besar sampai terbawa di sekolah.

"Gimana kalau nanti pulang sekolah main di rumahku? kita bisa saling cerita nanti," kata Adrian.

Reina sudah mengelap air matanya dengan sapu tangan yang ia bawa, mungkin ia sudah mempersiapkannya dari rumah.

"Nah iya tuh ide bagus," kataku.
"Biar sekalian kita tau rumahnya Adrian," kata Yuli.

Reina sudah berhenti menangis, tapi aku bisa baca dari matanya kalau ia sangat sedih sekali, aku ingin tahu ada apa sebenarnya.

Setelah jam istirahat, hujan turun begitu deras. Bahkan kelas pun sampai terasa sangat dingin. Kalau aku boleh menebak, mungkin di Eropa suhunya seperti ini.

ReReiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang