9. PERPUSTAKAAN

71 41 39
                                    

Seperti anak kecil yang ingin bisa mengendarai sepeda, ia harus belajar. Disaat ia sedang belajar, banyak hal yang buruk menimpanya. Jatuh bangun ia hadapi untuk bisa mencapai tujuannya. Sampai akhirnya ia sudah tidak terjatuh lagi karena mendapat pelajaran dari hal buruk sebelumnya. Ia bisa menjaga keseimbangan dengan kemudian bisa tetap duduk manis di jok sepedanya.

Tak terasa aku sudah naik pangkat dan jabatan jadi kelas XI MIPA 2. Bagaimana dengan hubunganku dan Reina? Alhamdulillah baik-baik saja, aku masih berteman baik dengannya.
Mendekati ulangan kenaikan kelas saat itu, Tito menyuruhku untuk menyatakan perasaanku yang sesungguhnya pada Reina.

"Ren, mendingan kamu nyatain perasaan kamu sekarang ke Reina," kata Tito.
"Kenapa emangnya?" ujarku.
"Di kelas 11 nanti kan kamu sudah tidak satu kelas lagi.

Di sekolahku memang sistemnya seperti itu. Setiap naik kelas nantinya akan di acak lagi dan aku belum tentu bertemu Reina lagi. Tapi kamu tenang saja, karena takdir sudah memberi yang terbaik padaku.

"Selamat bertemu kembali," kataku ketika hari pertama di kelas 11.
"Bosen," ujarnya.
"Kalo pun nggak sekelas juga masih bisa ngeliat, kan?" kataku.

Dia diam.

Selama satu semester terakhir di kelas 10, Reina sering pergi dan pulang sekolah denganku. Itu yang membuatku semakin nyaman dekat dengannya, semoga ia juga. Aku pun sudah mengenal keluarganya, dan keluargaku juga sudah saling mengenal dengan Reina. Tapi kalau bicara soal perasaan, aku sudah mencintainya, hanya saja menurutku bukan waktu yang tepat untuk menyatakannya.

Di kelas 11, aku harus kehilangan sahabatku dengan kulit hitam manisnya. Wahid harus kembali ke daerah asalnya karena tugas ayahnya sudah selesai. Saat itu kami sempat melakukan aksi protes agar Wahid tetap tinggal di Jakarta, tetapi ayahnya hanya diam saja duduk manis sambil minum kopi, tanpa sedikit pun merespon kami. Kami merasa kehilangan karena tingkah lakunya yang aneh dan sering kali membuat kami tertawa.

"Kau jangan nakal di sana yo," kata Yuli saat bertemu untuk terakhir kalinya.
"Semoga kau tenang di sana," kata Tito.
"Hee aku belum mati," ujar Wahid.

Kemudian kami berpelukan untuk salam perpisahan. Dan sekarang sudah tidak ada Wahid, itu berarti personil kita berkurang satu.

"Rendi...," kata Tito yang datang ke kelasku.

Aku sudah tidak satu kelas lagi dengan Tito dan Yuli. Aku hanya bertemu kembali dengan Reina dan Andrian.

"Kenapa?" jawab Reina.
"Gapape Rei," kata Tito.
"Ketemu lagi nih kau berdua?" saut Yuli yang datang ke kelasku juga.
"Namanya juga jodoh," kata Tito.

Yuli terdiam dan langsung pergi ke kelasnya.

Aku belum melihat Adrian saat itu, ternyata ia tidak sekolah. Dan aku baru dapat kabar ketika pulang sekolah kalau ia mengalami kecelakaan ketika ingin berangkat sekolah. Aku dan temanku berencana untuk menjenguk ke rumahnya. Kata orang tuanya, harusnya ia dirawat di rumah sakit untuk sementara, tapi Adrian menolaknya.

Adrian kecelakaan ketika berangkat ke sekolah. Ia ditabrak mobil dan orang yang menabraknya tidak bertanggung jawab. Beruntung, di sana ada warga sekitar yang melihat kejadian itu dan membawa Adrian ke rumah sakit.

"Kamu hati-hati kalau bawa motor," bisik Reina padaku.
"Iya Ren, hati-hati," saut Tito yang ternyata mendengar bisikan Reina.
"Ihh apa sih." kata Reina dengan kesal.
"Hahaha."
"Iya aku hati-hati kok, kan selalu sama kamu," kataku.

Ia tersenyum, itu membuat hidupku semakin sehat tanpa makan-makanan yang bergizi, yang penting dapat senyuman dari nya.

Aku dan yang lainnya pamit pulang karena hari sudah sore dan aku belum mandi.

ReReiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang