8. KUNTILANAK

61 46 30
                                    

Di sekolahku ada program untuk peserta didik baru, yaitu LDKPDB (Latihan Dasar Kepemimpinan Peserta Didik Baru). Di program itu para murid baru akan dilatih dasar kepemimpinan, di situ para murid juga akan belajar apa itu solidaritas, loyalitas, dan yang lainnya.

Ketua pelaksana membuat beberapa regu dan itu di acak, tiap regu berisikan perwakilan tiap kelas. Di reguku ada 18 orang. Acaranya saat itu di Bogor dan kita akan tidur di tenda beralaskan tiker yang kita bawa.

Pagi itu semua murid kumpul di sekolah kemudian berangkat. Aku belum lihat Reina, sepertinya ia telat.

"Eh Rei?" kataku ketika Reina datang.
"Iya?" katanya.
"Sudah siap?"
"Siap nggak siap harus siap."
"Oke kapten!" hormatku padanya.

Pemandangan di Bogor saat itu cukup membuatku melepaskan rasa bosan dengan suasana Jakarta yang begitu banyak polusi. Saat itu hujan turun, mungkin di sana sudah terbiasa dengan hal itu karena Bogor dijuluki kota hujan.

Acara sudah dimulai, berbagai macam tantangan sudah kami lewati dan waktunya istirahat malam, kemudian akan ada acara lagi jam 1 malam. Di tengah malam aku dan temanku yang lainnya belum ada yang tidur, mungkin karena tidak biasa dengan kondisi seperti itu. Padahal aku sangat lelah sekali dan yang lainnya juga. Kami hanya meminum kopi hangat dan bermain kartu.

Aku tidur beralaskan tiker dan tas ranselku yang di jadikan sebagai bantal.

Sementara yang lain sedang asyik main, tiba-tiba saja aku mendengar suara yang membuatku sedikit merinding.

"Hihihihihi."

Percayalah, itu bukan suara Tito, Andrian, apalagi Yuli, karena aku tidak satu tenda dengannya. Suara itu aku dengar seperti sound effect di film horror yang baru saja aku tonton. Aku mengira saat itu panitia sedang menyiapkan sound effect untuk menakut-nakuti murid di acara malam nanti.

"Kamu denger suara nggak sih?" tanyaku.
"Jangkrik?" ujarnya.

Saat itu memang yang terdengar hanya suara jangkrik dan suara bisikan temanku yang sedang bermain kartu. Tapi suara tertawa itu seperti tidak asing di telingaku, menurutku itu kuntilanak!

Mereka masih asyik bermain seperti tidak mendengar suara apa-apa. Aku jadi kepikiran Reina, semoga ia baik-baik saja dan bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada gangguan apapun.

***

Tito pernah bercerita padaku, kalau ia mencintai Yuli.

"Ren, masa aku cinta sama Yuli," katanya.

Saat itu aku sedang bermain futsal dan dia masih bisa-bisanya curhat dalam kondisi seperti itu. Aku hanya melihatnya kemudian aku kembali konsentrasi bermain.

Setelah pertandingan selesai, aku duduk di kursi pinggir lapangan dengan badanku yang berkeringat. Kemudian aku mengarahkan pandanganku kearah Tito.

"Gimana ini?" lanjutnya.

Aku minum air mineral kemudian menjawab pertanyaannya.

"Terlalu cepat," jawabku.
"Terlalu cepat gimana?"
"Jangan terburu-buru."
"Kenapa?"
"Semua harus punya proses yang tidak singkat."

Sebagian orang memang ada yang menganggap cinta itu adalah hal yang sepele. Mencintai itu bukan sekedar mengagumi, tapi banyak resiko yang akan di tanggung. Kalau sudah jatuh cinta, harus bisa menerima ketika jatuh nanti. Ada banyak hal yang akan dihadapi, dan ada juga beberapa proses. Ada yang jatuh lalu cinta, dan ada yang cinta lalu jatuh, bahkan seperti jatuh ke dalam jurang sekalipun.

Saat itu pun aku sedang merasakan hal yang sama dengan Tito. Tapi aku berusaha untuk menangani hal itu sendiri, aku harus bisa menahan diriku agar tidak jatuh cinta terlalu cepat.

ReReiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang