Sementara itu makan malam di kediaman Gardi dilaksanakan seperti biasanya. Obrolan-obrolan kecil memenuhi atmosfer keluarga kecil itu. Niko kerap kali mengajak papanya untuk berdiskusi tentang hukum dan politik di Indonesia. Gardi terkadang menyuarkan pendapatnya dengan cerdas. Sasti pun sesekali ikut nimbrung walaupun kurang paham masalah politik. Berbeda dengan Daru yang terlihat tidak minat dengan pembahasan tersebut.
"Daru kamu udah kasih makan kucing kan?" Tanya Sasti.
"Udah, Ma," jawab Daru, Sasti menganggukan kepalanya.
"Mama ingetin takutnya kamu lupa."
"Oh ya, Ma. Kamar di sebelah Daru kok tumben dibersihin. Emangnya mau ada siapa? Tante Siska mau nginep?" tanya Daru kemudian menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Tadi saat Daru pulang sekolah ia melihat kamar kosong di sebelahnya sangat rapi dan bersih berbeda dari sebelumnya. Seprei putihnya dan gordennya pun sampai diganti menjadi berwarna abu-abu.
"Lo belum tahu, Dar, kalau anaknya temen Mama mau ada yang tinggal di sini buat sementara?" tanya Niko—Kakak Daru.
Daru mengedikkan bahunya. "Nggak tahu. Emangnya siapa, Ma, yang mau tinggal di rumah kita?"
"Itu loh, anaknya Om Hari sama Tante Rita yang satu sekolah sama kamu itu," jawab Sasti, "yang suka ikut kalau ada acara di kantor Papa. Yang cewek itu loh yang ramah banyak ngomong itu."
"Iya namanya Sany kalian pernah ketemu waktu acara ulang tahun kantor Papa," jawab Gardi.
Mata Daru tiba-tiba saja melebar. Sany si bocah sialan itu mau tinggak di rumah untuk sementara waktu? Demi apapun Daru tidak ingin menerimanya barang itu hanya sehari saja. Rasanya Daru mulai gelisah dan tidak nyaman. Ini berita buruk. Lebih buruk dari buah-buahan yang sudah busuk.
"Dia yang mau tinggal di rumah kita? Serius? Nggak bercanda, kan?" tanya Daru memastikan dan berharap jika ini adalah sebuah kebohongan.
"Serius Mama mana bohong sama kamu. Sany itu orangtuanya mau ngurusin pekerjaan di Malang tuntutan dari kantornya. Jadinya Sany mau dititipin dulu di sini buat sementara karena di rumahnya nggak ada siapa-siapa," jelas Sasti, "kamu kenapa sih? Nggak seneng emangnya?"
Daru dengan cepat menyilangkan kedua tangannya tanda bahwa ucapan Sasti itu tidak benar. Padahal Daru hanya tidak ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa ia memang keberatan.
"B-bukan gitu, Ma! Tapi, kok bisa dia tinggal di rumah kita? Rumah orang loh. Kita bukan saudaranya."
"Huss! Kamu jangan bilang kayak gitu. Keluarga mereka itu pada jauh-jauh. Lagian saudaranya nanti bakalan ada yang pindah ke Jakarta dan Sany bakalan pindah lagi dari rumah kita baut tinggal sama saudaranya itu."
"Serius dia nggak bakalan lama di sini?" tanya Daru dengan rasa senang.
Kalau begini ceritanya Daru nggak keberatan Sany tinggal sementara buat di sini. Toh, nanti kalau saudaranya udah pindah ke Jakarta Sany juga bakalan pergi kok dari rumahnya."Kamu kenapa, sih, Dar dari tadi kayak yang nggak mau Sany tinggal di rumah kita. Kalau Mama sih, seneng ada Sany di rumah Mama jadinya ada temen biar nggak cowok semua di rumah kita."
"Bukannya nggak suka, Ma. I-itu loh, Daru kan sama Sany satu sekolah nanti kalau anak-anak di sekolah tahu kalau Daru tinggal sama Sany yang bukan saudara takutnya berpikiran yang aneh-aneh," jawab Daru berbohong.
Padahal sebenarnya ia memang keberatan ketika tahu Sany bakalan tinggal di rumahnya. Sany loh? Cewek yang suka sama Daru dan selalu merecoki hidupnya. Tapi, kalau Sany cuman tinggal sebentar sih, Daru masih bisa menerimanya. Setidaknya Daru harus sedikit bersabar untuk menunggu sampai saudara Sany tiba di Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, I Love You! (Completed)
Teen FictionDaru tidak tahu harus dengan cara apalagi ia harus menyingkirkan Sany dari kehidupannya. Cewek pecinta warna kuning itu selalu membuat hidup Daru tidak tenang. Apalagi kalau Sany sudah meneriakinya 'I Love You', ingin sekali rasanya Daru mengirim Sa...