PART 25

106 2 0
                                    

“Gila. Ini bohong. Ini mimpi. Please someone slap me or kick me or something. INI MIMPI!” pekikku keras, lalu berjalan menjauh.
Reuben menarik tanganku. “Mon, stay here!”
Aku diam. “Reu, please tell me this is dream.”
Reuben memegang kedua tanganku. “Gak, Mona. Ini bukan mimpi, and we will face this.”
Aku tidak mau memandang mata Reuben yang menatapku sangat lembut. Tatapannya menenangkan tapi…
Rupanya menoleh pun sangat salah.
The Overtunes sudah di Gedung Kesenian, di backstage (yup, ada backstagenya!). Pertama kali aku datang bareng Mikha tadi, gedung ini masih sepi dan hanya ada beberapa peserta. Lalu aku dan Mikha memutuskan untuk ke backstage untuk menemui Reuben, Jeremy, dan Mada yang udah nyampe duluan di gedung ini.
Awalnya aku cuma gugup-gugup biasa. Reuben, Mikha, Jeremy, dan Mada berulang kali menenangkanku, dan berhasil.
Tapi………….
Backstage akhirnya penuh dengan peserta yang BANYAK banget. Sampai akhirnya ada cewek yang bilang gini,
“Cant believe it! Semoga aku gak gugup nanti, banyak banget diluar…”
Aku yang dengar dan kepo langsung keluar dari backstage dan ngintip keluar.
Dan ternyata…………………….
Gedung Kesenian belum pernah sepenuh ini. Belum pernah aku liat selama sekolah disini, kursi-kursi terisi penuh bahkan banyak yang berdiri.
Aku kembali ke backstage dengan jantung hampir copot, lalu memberitahu apa yang kulihat.
Dan 25 menit terakhir inilah Reuben, Mikha, Jeremy, dan Mada berusaha menangkanku namun tidak berhasil.
Aku memandang Reuben yang berdiri di depanku. “Mona, kita pasti bisa. Anggap aja kayak kita latihan di ruang musik selama ini.”
Aku menutup mataku. Kemudian ada yang merangkulku. Aku terkejut dan melihat Mikha merangkulku.
Reuben menatap kami berdua bergantian. “Well, Mik, make Mona calm down. She needs your words, kayak apa yang selama ini kamu lakuin,” kata Reuben kemudian berlalu.
Ucapan Reuben tadi sempat membuat otakku beku sebentar, seperti ada lampu menyala. Namun keributan dari bangku penonton membuaku seperti tersiram air mendidih.
Mikha memegang kedua bahuku, menghadapkanku kepadanya. “Mona, what do you feel right now?” tanya Mikha cemas.
“Takut, cemas, panik, gugup, nervous…” bisikku pelan sambil menatap mata Mikha. “Gagal, fals, haters, envy. Oh, Mik, they will hate me!”
Mikha segera menggeleng. “Mona, please. Believe in yourself!”
Mataku sudah mau berkaca-kaca saking gugup dan takutnya. Jadi aku membuang muka, tidak ingin menatap Mikha.
Namun Mikha memegang pipiku dengan kedua tangannya.
Andai aja bukan dalam situasi panik, aku yakin jantungku pasti bakal stop bekerja.
Mikha menaruh kedua tangannya di pipiku. “Mona, look at me.”
Maka dengan rasa panik dan dagdigdug gak karuan gara-gara Mikha, aku menatap matanya. 1 menit penuh hanya memandang mata Mikha itu rasanya………………………….
ASDFGHJKL banget!
“Mon, aku udah bisa ngerasain kalau kita bakal lolos audisi. Just sing with your heart, with your soul. Just feel it. You don’t have to be nervous or something like that. Calm down. The Overtunes are ready. Kita pasti bisa.”
Belum sempat aku mencerna semua kata-kata Mikha, ia sudah membawaku ke pelukannya. Dan ini ternyata jauh lebih ampuh daripada apapun. Rasanya……… damai. Tenang.
“You are my strength, Mona,” bisik Mikha di telingaku.
Aku membenamkan wajahku di pelukkan Mikha. “Thanks, Mik. Gak tau apa jadinya kalau gak ada kamu,” bisikku.
Mikha tertawa kecil. “Secret admirer kamu harus berterima kasih sama aku, you don’t feel panic anymore, and your performance will be amazing. He should say thanks to me, haha!”
Aku melepaskan pelukan Mikha dan menatapnya bingung, “Mik, you say that like you know my secret admirer.”
Mikha diam.
“You know him, don’t you?” tanyaku segera.
Mikha belum menjawab namun Mada dan Jeremy datang sambil membawa nomor urutan. Mada memberikan nomor itu ke Mikha terlebih dahulu.
Kulihat wajah Mikha berubah sedikit.
“Well, ada yang harus aku urus sebentar.” Mikha pergi lalu memberikan nomor itu kepadaku.
Kulihat nomor itu.
The Overtunes, 1.
Ini. Bohong. Kan. Please.
Aku segera menatap Mada. “Mad, urutan pertama…..?”
Mada mengangguk, kemudian segera mengambil nomor itu. “Kita harus siap-siap, audisi 10 menit lagi.”
Perlu Jeremy yang menggandeng tangaku agar aku bisa berjalan dengan benar.
Ada beberapa ruangan di backstage, lalu Mada membuka pintu dan masuk ke ruangan itu. Tidak sepenuh di ruang utama backstage, walaupun ruang ini lebih kecil. Kulihat ada beberapa cewek duduk di sofa di sudut ruangan, dan Reuben yang sedang memegang gitarnya. Bahkan wajah Reuben pun terlihat pucat. Namun begitu ia melihatku memasuki ruangan, ia merubah wajahnya agar lebih rileks.
Reuben mendatangiku, lalu menyuruhku duduk di sofa, di sebelah cewek yang sedang memegang stik drumnya.
Cewek ini menoleh, “Kamu…. Mona Louissa bukan?” tanya cewek itu ramah.
Aku mengangguk seraya tersenyum.
Ia menyodorkan tangannya, “Kenalin, aku Rachel.”
Aku menyalami tangan Rachel sambil tersenyum. “Mona.”
“Reuben bilang ke aku tadi sebentar, band kalian namanya The Overtunes, ya? Wow, pasti keren. Aku udah denger dari kemaren kalau Reuben, Mikha, Mada, Jeremy bakal ikut audisi. Aku kira mereka cuma jago di lapangan bola, ternyata mereka juga main musik, ya? Keren!
“Terus aku tanya ke Reuben tadi, beneran ikut audisi atau gak. Ternyata bener, dan dia juga bilang kalau Mona Louissa bakal ikut. Aku udah tau kamu dari lama, sering menang lomba, kan, kamu? You’re so cool, Mon!”
Aku tertawa. Rachel anaknya sangat supel dan tiba-tiba rasanya gak gugup lagi. Aku mengobrol, dan bisa kulihat Reuben mengawasi dari sudut ruangan sambil tersenyum senang.
“… Iya, aku udah lama ngeband. Nama band aku Madamoissele. Aku di drum, Kania di vokal, Violet di biola, Amanta di piano, dan Alice di gitar.”
Aku terkagum-kagum mendengar cerita mereka yang udah sering manggung dimana-mana, walaupun eventnya masih kecil. But its totally cool!
Namun tiba-tiba terdengar ada yang ngomong di mic dari luar ruangan. Perutku langsung sakit dan seketika tanganku dingin.
“The Overtunes nomor urutan berapa?” tanya Violet yang ikutan mengobrol.
“Satu.”
“Goodluck, guys!” kata Kania sambil menepuk bahu kami.
Aku berdiri dan tepat pada saat itu pintu terbuka dan kulihat Mikha.
Kami berlima langsung membentuk lingkaran dan saling berangkulan.
“This is the time,” kata Mada.
“Kita pasti bisa,” kata Jeremy.
“Kita bakal lolos,” lanjut Mikha.
“No worries at all. Anggap aja kayak di ruang musik,” kata Reuben menenangkan.
Aku menarik napas. “Goodluck for us, The Overtunes!” seruku bersemangat.
Setelah ber ‘goodluck’ ria dengan Madamoissele, kami keluar dari ruangan dan ke backstage. Aku bisa melihat seorang cewek yang tergabung dengan OSIS sedang berbicara di mic.
“… Yap, karena para dewan juri sudah menempati tempat mereka masing-masing, langsung saja kita ke perserta pertama!”
Mikha dan Reuben menggenggam tangan kanan dan kiriku bersamaan. Mereka tau aku gugup, they’re tyring to make me calm down again.
“Siapa nih peserta pertama. Can you guys guess it, guys?”
“THE OVERTUNES!”
Penonton ramai berteriak ‘The Overtunes’ dan aku rasanya ingin meledak.
“Oke, you guys guess it right, here we go, give your big applause to THE OVERTUNES!”
“You can do it, Mona!” bisik Mikha sebelum ia memasuki stage.
Begitu Mada masuk, jeritan cewek-cewek histeris. Disusul Jeremy, dan Reuben, lalu Mikha dan teriakan semakis histeris. Para guru yang menonton pun terpaksa harus menutup kuping mereka.
Begitu aku masuk jeritan masih terdengar, namun ada bisik-bisik disana-sini. Mereka pasti heran.
Aku berdiri di depan mic ku, di sebelah Mikha. Memandang semua yang ada di Gedung Kesenian ini dengan gugup luar biasa.
“Well, good morning everybody!” sapa Mikha sambil memberikan senyum mautnya.
Balasan good morning too terdengar sangat keras. Aku meringis.
“So, we are The Overtunes. Saya, Mikha Angelo vokalis tapi main gitar juga, hehehe….” kata Mikha tertawa. Semua cewek tertawa dan tetap menjerit. “Cewek cantik yang ada di sebelah saya ini namanya Mona Louissa. Dia vokalis.”
Terdengar teriakan ‘awwwww dibilang cantik sama mikha!’ dan jerit-jerit lainnya yang tidak bisa terdengar saking ributnya ruangan itu.
“Lalu Reuben Nathaniel as lead guitarist, Jeremy Hugo as bassis, and Mada Emmanuelle as drummer. But now he will play with his cajon.
“So, guys. Hope you like our performance. The Overtunes!”
Semua cewek berdiri dan menjerit sambil menekapkan tangan mereka ke mulut.
Mikha melirik ku sekilas, tersenyum manis dan menenangkan.
Okay, here we go….

Music Is Our Way (The Overtunes Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang