PART 23

106 2 0
                                    

H-1 Audisi.
Sekolah ramai membicarakan audisi yang bakal dilaksanakan di Gedung Kesenian sekolah. Yap, gedung ini buat acara-acara seni yang biasanya diadakan di sekolah. Dan buat latihan-latihan juga kadang biasanya disini. Bahkan, pelepasan siswa diadakan disini. Karena gedung ini yang paling besar dan paling bagus di sekolah.
Berita Mikha, Reuben, Jeremy, dan Mada bakal ikut audisi sudah terdengar seantero sekolah. Entah mulai dari siapa berita ini disiarkan, namun akhirnya satu sekolah sudah tau dan mereka gak sabar buat nonton audisi besok.
“… Tapi, Mon. Entah ini sisi bagusnya atau jeleknya, mereka cuma tau kalau Mikha cs yang bakal ikut audisi. Mereka gak tau, kalau kamu juga bakal duet sama Mikha!”
“Ssssttt, Jane!” kataku. Aku melirik kanan-kiri. Anak-anak tampak asyik mengobrol satu sama lain.
Jane mengimbangi langkahku yang semakin cepat. “Anyway, aku gak sabar liat kamu latihan di ruang musik!”
Aku tersenyum.
Latihan hari ini, aku sengaja ngajak Jane buat nonton aku latihan. Ini pertama kalinya, dan tentu aja dia bisa ngasih komentar buat The Overtunes nantinya.
Sesampainya di depan ruang musik, aku membuka pintunya. Aku masuk diikuti Jane. Lalu Jane menutup pintunya.
“Halo, guys…” sapaku.
“Hi, Mon!” kata Reuben. “Gimana kelas Sejarahnya?”
Aku menaruh tasku. “Hmm, not bad.”
Lalu Jane menyikutku. Aku menoleh. “Apa?”
Jane menunjuk ke arah Reuben, Mikha, Jeremy, dan Mada. Oh, I got it.
“Well guys, hari ini aku bawa sahabat aku buat latihan kali ini. Dia kan belum pernah dengar kita latihan gimana, jadi aku pikir dia bisa ngasih komentar buat kita nantinya.”
Jeremy mengangguk. “Great idea, Mon!”
“Thanks, J!” kataku, tersenyum. “Kenalin, namanya Jane. Dia sahabat aku.”
(nowplaying: The Overtunes - Sahabat)
Reuben yang menyapa Jane pertama kali. “Hello, Jane! Nice to meet you.” Reuben memberikan senyum mautnya. Bisa kudengar Jane menahan napas. Well, untung aku sudah lumayan kebal dengan senyum maut Reuben.
“Aku gak perlu kenalan, kan, sama kamu, Jane? We are classmate, aren’t we?” kata Mikha sambil tertawa.
Dan bisa kulihat wajah Jane memerah sekarang.
Jeremy tersenyum kepada Jane. “Hello, Jane. I’m Jeremy. Panggil J aja, hahahaha…”
Kali ini, Jane sudah jauh lebih rileks. Tepat pada saat ia membalas sapaan Jeremy, pintu terbuka dan masuklah Mada sambil membawa tasnya.
“Hey, Mad!” sapaku girang.
Mada menaruh tasnya lalu berjalan mendekat dan mencubit pipiku sekilas. Aku cemberut. “Mad, ini sahabat aku, namanya Jane. Dia baru pertama datang ke latihan kita hari ini, dan nanti dia bisa kasih komentar.”
Mada melirik Jane. Lalu menyodorkan tangannya. “Mada.”
Jane menjabat tangan Mada. Dan tepat pada saat itu bisa kulihat wajah Jane berubah menjadi merah sekali, sampai-sampai terlihat ungu.
Mada melepaskan tangannya, lalu memberikan senyum cool nya. “Nice to meet you…. Jane.”
Jane hanya mengangguk. Mada berlalu, mendatangi Mikha.
Lalu sesuatu yang sedingin es menggenggam tanganku. Kusadari itu tangan Jane. “OHMYGOD, Jane are you okay?”
Jane menutup matanya. “They are more than handsome.”
Aku tertawa.
“Kita mulai aja latihannya gimana?” tanya Reuben. Semua langsung mengangguk.
5 menit kemudian, kami sudah di posisi. Jane duduk di depan kami dan wajahnya sudah tidak sabar.
Petikan gitar Reuben terdengar pertama. Disusul gitar Mikha, bass Jeremy, dan cajon Mada.
Aku menyanyikan bagianku dengan baik, dilanjutkan dengan Mikha.
Dan satu hal yang bikin aku ngerasain senang yang meluap-luap: setiap nyanyi, aku sama Mikha harus ngebangun chemistry supaya lagunya tambah kerasa feelnya. Dan, cara Mikha ngebangun chemistry itu oke banget. Matanya selalu natap aku gak lepas-lepas sambil senyum.
Can I go fly now.
“For the first time and the last time, in my only…….. life.”
Tepukan heboh langsung terdengar dari depan. Jane menepukkan tangannya cepat sekali, wajahnya sangat sumringah.
“Kalian keren banget gilaaaaa! Kalian bakal menang! Kalian harusnya udah punya album, jadi artis, menang Grammy, go internasional!!!”
Aku dan Mikha tertawa. Begitu pula Reuben, Jeremy, dan Mada.
Kami berlatih 3 kali lagi, melatih lagu cadangan yang siapa tau diperlukan, dan setelah itu beristirahat.
Kami berenam duduk membentuk lingkaran. Mikha di sebelah kananku, lalu sebelah kiriku Jane. Lalu Mada disebelah Jane, Reuben di depanku, lalu Jeremy.
“Gak sabar nunjukkin apa yang selama ini kita persiapin besok ke juri,” kata Mikha sambil tersenyum.
“Gak cuma ke juri, Mik,” kata Jane perlahan.
Sekarang semua mata memandangnya. Jane langsung salting.
“Maksud kamu?” tanya Mada.
Jane diam. Tidak menjawab. Alih-alih menjawab, wajahnya langsung berganti warna menjadi merah. Namun yang lain terus memandangnya, ingin tahu. Maka sebelum wajah Jane berubah jadi hijau atau ungu, aku menyelamatkannya,
“Jane bilang, semua orang di sekolah ini, udah tau kalau kalian pada ikut audisi. Dan mereka semua gak sabar buat nonton audisi besok,” jelasku. Hening. “Tapi, mereka gak tau kalau aku juga ikut bareng kalian.”
“Wow, kejutan besar,” kata Mikha.
“Well, itu bukan jadi masalah. Toh pada akhirnya mereka bakal tau, kan? They should know about The Overtunes!”
“Agree!” sahutku sambil tertawa.
Lalu aku menaruh tanganku di tengah. Aku menatap mereka satu persatu sambil tersenyum penuh makna.
Mikha menaruh tangannya di atasku. Disusul Reuben. Lalu Jeremy. Dan Mada.
Jane menatap tangan-tangan kami ragu-ragu. “Join us, Jane!” seru Reuben ramah.
Maka Jane menaruh tangannya di atas tangan Mada, dan bisa kulihat bulir-bulir keringat jatuh di wajahnya. Namun ia tersenyum.
“Audition, wait for us, The Overtunes are ready!”

Music Is Our Way (The Overtunes Short Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang