Di tengah musim gugur yang dingin, seorang gadis cantik bermata lavender diseret ke sebuah rumah megah yang ada di distrik merah. Gadis itu meraung, menjerit, dan terus berusaha untuk berontak. Namun apa daya, empat tangan kekar yang menahannya begitu kuat dan semakin kasar menariknya.
"Tou-san, kenapa kau tega melakukan ini padaku?" jerit gadis itu dengan air mata yang terus bercucuran.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku bukan ayahmu. Kau hanya anak terkutuk yang lahir dari wanita pelacur itu dengan selingkuhannya," bentak pria paruh baya yang ikut menyeretnya.
"Tou-san, mengapa kau tega menuduh ibu seperti itu? Ibu wanita baik-baik, jadi jangan membicarakan hal buruk seperti itu disaat ibu sudah tiada," bela gadis itu masih terus meronta.
"Diam! Kau harusnya bersyukur karena aku hanya membawamu ke tempat ini. Jika aku mau, aku bisa saja membunuhmu saat ini juga!"
"Bunuh, bunuh aku saja Tou-san. Aku lebih baik mati daripada hidup di tempat pelacuran ini!"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat manis di pipi seputih pualam itu. Ketika tamparan kedua akan dilayangkan, tiba-tiba seseorang menahan tangan sang pria.
"Anda dilarang merusak property yang sudah kami miliki, Tuan. Jika sekali lagi kau menyentuhnya, akan kupastikan Nyonya Senju menarik kembali semua uang yang telah diberikan berikut uang ganti ruginya."
Pria tua itu terperangah, begitu pula para pria kekar lainnya. Saat ini di hadapan mereka berdiri seorang bidadari yang sedang menatap mereka dengan tajam. Cantik, anggun, dan begitu memesona. Hanya dengan sebuah tatapan, jiwa mereka seakan terhisap dalam lubang tanpa batas yang penuh misteri.
"Si-siapa kau?" tanya pria itu memecah keheningan.
"Aku adalah Narumi, Narumi Fujiwara. Orang yang ditugaskan oleh Nyonya Senju untuk menjemput Nona Hirumi."
"Cut!"
Teriakan sutradara menghentikan acting mereka. Naruto mendesah lega, lalu mengulurkan tangannya untuk membantu gadis cantik sang pemeran utama untuk berdiri.
"Kau baik-baik saja, Hinata?" tanya Naruto lembut. Gadis bersurai indigo itu mengangguk lalu menerima uluran tangan Naruto.
"Te-terima kasih, Naru-nii," ucap Hinata agak tergagap. Wajah cantiknya bersemu merah sambil sesekali melirik Naruto dari sudut matanya.
Melihat tingkah laku gadis itu Naruto pun tersenyum. Entah mengapa, dari sekian banyak pemain dan kru dalam film ini, hanya Hinatalah yang bersikap baik padanya. Hanya gadis itu yang mau tersenyum dan menyapanya. Sementara yang lain? Terlihat acuh, bahkan ada yang terang-terangan menatapnya tak suka.
"Kerja bagus, Hinata," ucap sutradara berambut kuning yang diikat tinggi. "Kau juga, aku tak menyangka kalau bakat acting-mu boleh juga, Naruto."
"Terima kasih, Deidara-sama. Aku masih perlu banyak berlatih," tutur Naruto sopan sambil sedikit membungkuk.
"Ck, ck, tak perlu se-formal itu padaku. Aku akan senang jika kau menganggapku teman. Oh iya, apa akhir pekan ini kau ada acara? Bagaimana kalau kita berpesta di klub langgananku? Anggap saja ini sebagai pesta penyambutanmu karena sudah kembali ke dunia entertain," kata sang sutradara penuh semangat.
"Ah, kalau soal itu...." Naruto terlihat ragu. Sejujurnya, ia tak begitu menyukai keramaian, apalagi hingar bingar dunia klub. Ia lebih senang menikmati ketenangan ditemani pemandangan yang indah dan menyejukkan. Biarlah orang-orang menyebutnya kolot, toh dengan seperti itu dia bisa mendapatkan banyak inspirasi dalam setiap memainkan perannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Hope
FanfictionTerbangun di sebuah kamar yang asing dengan tubuh tanpa busana sudah cukup untuk membuat pria berambut pirang itu terkejut. Belum lagi ia harus menerima fakta kalau ternyata ia menjadi jalang di tahun 2018, mundur 32 tahun dari tahun asalnya di 2050...