"Apa sebelumnya dia pernah mengalami benturan?" tanya pria berjas putih dengan mata menyipit.
Mataku berkedip pelan mengamati dua pria yang asyik membicarakan keadaanku tanpa peduli kalau orang yang mereka bicarakan juga ada di sana. Bosan mendengarkan pembicaraan yang tak kumengerti, aku pun memejamkan mata perlahan.
Kemarin aku kembali pingsan saat mendengar kenyataan yang tak dapat dicerna oleh nalarku. Kembali ke masa lalu? Itu pasti sudah gila! Dan ... apa-apaan tubuhku ini? Ternyata tubuh yang kumiliki sekarang memiliki nama Naruto, Uzumaki Naruto lebih tepatnya. Menggelikan, seperti nama tokoh ninja di anime zaman dulu saja. Apa mungkin orang tua tubuh ini terobsesi oleh anime tersebut? Ah, aku tak peduli soal hal itu.
Naruto atau siapa pun itu, hanya satu yang dapat kupastikan. Tubuh ini sama persis dengan tubuhku di tahun 2050. Perbedaannya, tubuh asliku masih bersih. Sedangkan yang sekarang ... oh, ya ampun! Menurut Itachi--pria raven yang meniduriku--tubuhku ini sering dipakai untuk menyokong karir. Ya, aku adalah aktor kelas dua, butuh usaha yang keras untuk mendapatkan sebuah job. Aku bukan lagi Blue Fox, aktor ternama multitalenta yang selalu diidamkan setiap produser untuk melejitkan film mereka.
"Naruto."
Ah, entah bagaimana hidupku nanti.
"Naruto?"
Menjual tubuh? Bahkan aku belum pernah merasakan sex pertamaku. Apa yang terjadi dengan Itachi tak masuk hitungan. Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi. Aku cuma merasakan pinggangku yang pegal dengan anus yang perih.
"NARUTO!"
"Ah? A-apa?" Terkejut, aku belum biasa dengan nama ini.
"Kami dari tadi memanggilmu. Apa yang kau pikirkan?" tanya Itachi penasaran.
"Aku ... aku hanya...."
"Jangan terlalu banyak pikiran. Istirahatlah, mungkin dengan ketenangan ingatanmu akan kembali perlahan," ucap dokter yang ber-tag dr. Orochimaru itu sambil mengerling penuh arti.
Tiba-tiba bulu romaku meremang. Apa-apaan dokter ini? Mengerikan!
♢♢♢
"Post traumatic stress disorder, untuk sementara itulah diagnosa dokter," kata Itachi sambil meletakkan bubur dan segelas air putih di atas meja kecil yang sudah disiapkan di atas kasur.
Aku melirik Itachi sekilas, lalu mulai menyantap makananku. Ah, sepertinya sudah lama sekali perut kesayanganku ini tak diisi. Apa Naruto juga punya gastritis akut? Kuharap tidak. Aku tak ingin selalu merasakan sakit di lambung lagi hanya karena telat makan.
"Apa benar kau tidak ingat apa-apa?"
Aku menghentikan suapanku ketika Itachi bertanya demikian. Sedikit memiringkan kepala, aku pun berkedip polos.
"Apa itu penting? Jika aku tak ingat apa-apa, yang perlu aku lakukan hanya mencari tahu tentang jati diriku saja, bukan?"
"Ck, optimis sekali," decak Itachi dengan senyum miringnya. "Kau tahu, aku berharap jika kau amnesia selamanya. Dirimu yang dulu sangat menjijikan. Kalau bukan karena tertarik dengan lubangmu yang hangat, aku juga enggan berurusan denganmu."
Mendengar kata "lubang", tiba-tiba saja wajahku terasa memanas. Sial! Apapun yang dilakukan pria keriput ini, aku harus memastikan agar tidak terulang lagi. Apa jadinya jika lubangku dibobol lagi? Aku masih normal dan tak ingin lubangku rusak karena manusia-manusia bejat.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Naruto?" tanya Itachi sambil memindahkan meja kecil ke lantai. "Kau tahu, sikapmu yang begitu tenang ini jauh lebih menggairahkan daripada Naruto yang cerewet."
Aku mengerutkan dahi, menatapnya tak suka. Oh ayolah, aku ini seorang aktor jenius yang pandai membaca situasi. Mana mungkin aku bertindak sembarangan di kawasan musuh?
"Tenang, seakan penuh misteri!"
Secepat kilat pria raven itu membalikkan tubuhku, menarik turun celana biru muda yang kukenakan, dan membelah kedua bokongku dengan kurang ajar. Aku tak sempat bereaksi dengan cepat. Sesuatu yang hangat dan lembab tiba-tiba menggelitik lubang yang sesekali masih berdenyut nyeri. Aku mendesah pelan sambil memejamkan mata. Perih!
"Sedikit sobek," kata Itachi sambil membenarkan kembali celanaku. Lidahnya menjilat bibir dengan sensual. Sadar dengan apa yang baru saja menyapa lubangku. Aku pun merinding ngeri. "Aku tak menyangka lubangmu itu masih sangat ketat, padahal kupikir itu akan menjadi sangat longgar setelah sering dipakai."
"Brengsek!" Aku cuma bisa menggeram. Ya, hanya itu yang bisa kulakukan karena tubuhku masih tak bertenaga.
Itachi lagi-lagi menampakkan seringai cemoohannya, lalu mendekatkan tubuhnya padaku.
"Masih tidak terima kalau kau adalah seorang jalang? Baiklah, mungkin kau bisa sedikit mengingatnya setelah membaca catatan pribadimu sendiri."
Sebuah notepad diletakkan di atas nakas. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menatap tajam pria itu.
"Aku suka tatapanmu. Tapi sayang, aku harus bekerja hari ini. Sampai ketemu lagi, Na-ru-to!"
Pintu kamar kembali ditutup setelah Itachi keluar dari kamarku. Ah, bolehkah aku menyebut kamar ini sebagai kamarku? Ya, setidaknya sekarang kamar ini memang tempat tinggalku, bukan?
♢♢♢
Salam
Ren_Thyazeline
(14 Februari 2018)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Hope
FanfictionTerbangun di sebuah kamar yang asing dengan tubuh tanpa busana sudah cukup untuk membuat pria berambut pirang itu terkejut. Belum lagi ia harus menerima fakta kalau ternyata ia menjadi jalang di tahun 2018, mundur 32 tahun dari tahun asalnya di 2050...